Pernah di Posting13 Juli 2013 pukul 2:08
Pada makalah ini, kami inginmenunjukkan posisi gerak pada realitas dan
keniscayaannya dalam penampakkan,dan menjelaskan bagaimana gerak dengan
kesempurnaan makhluk. Namun sebelum masuk pembahasan mengenai gerak dan gagasan
tentang kesempurnaan makhluk, dikemukakan beberapa argumen mengenai
kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), kesatuan wujud (wahdah
al-wujud) dan kebertingkatan/gradasi wujud (tasykik al-wujud).(elian,
Makassar)
Prolog
Kehidupankami artikan sebagai aktivitas yang dijalani oleh
makhluk-makhluk yangmenginginkan sesuatu sebagai kebutuhan wujudnya. Hidup yang
adalah maujud yangberkesadaran, dalam setiap saat memerlukan suatu hal untuk
memenuhi apa yang iabutuhkan agar tetap maujud. Yang karenannya, kehidupan
sebagai aktifitas,mengharuskan gagasan tentang perubahan. Perubahan tersebut
terlihat sebagaifenomena yang terus berlangsung pada kehidupan maujud di
alam raya. Dari sini kita menuai pehaman, seandainya takada perubahan, maka itu
bukanlah kehidupan dan pada akhirnya menghilangkanpemahaman tentang hidup. Tapi
kita pun mendapati bahwa tak hanya satu maujudyang nampak itu mengalami
perubahan.
Dariperubahan yang terjadi, dan beragamnya penampakan
tersebut membuka kemungkinanterjadinya benturan antar entitas-entitas. Gagasan
ini didapat dari beragamnyakebutuhan antar makhluk yang fana tersebut pada
relasinya dengan yang lain.Atau dapat dikata, kebutuhan untuk tetap maujud –
terutama makhluk yangmemiliki kehendak – membuka ruang terjadinya persaingan
agar tetap eksis. Jikapemahaman ini dinisbahkan kepada manusia, dan melihat
relasinya dalam lingkupsosial-budaya maka sudah tentu dinamika itu menjadi hal
yang bukan tidak wajar,atau lazim. Disini dapat dimanfaatkan toeri-teori sosial
yang menjelaskantentang hubungan antar makhluk hidup yang mempunyai keinginan
merealisasikankeinginan itu. Sejalan dengan penjelasan tersebut, kita ambil
saja “komunikasi”antarpribadi sebagai hubungan antarpribadi – dalam konteks
komunikasi – dapatmenjadi erat atau pun sebaliknya. Sebab terjadinya
keerat-keretakan tersebutdapat bermacam-macam, dan salah satunya – bisa jadi –
kepentingan yang berbeda.Lalu mengapa harus terjadi perbedaan kepentingan,
sementara sama-sama berada dibawah payung Genus dan satu esensiyang
terjelaskan pada bingkai spesies yangtak berbeda.
Perubahandalam
kehidupan dan dinamika yang menyertainya menempuh satu tujuan sebagaicita-cita
yang membangkitkan setiap maujud di alam ini untuk menggapainya.
Kepentinganterhadap pemahaman perubahan serta arah dari perubahan tersebut
membuatbeberapa tokoh mengerutkan wajahnya hanya untuk menuai kejelasan
tentangnya.Dengan kemunculan argumen dari para pemikir terdahulu tersebut
menambahpengetahuan kita terhadap pentingnnya penjelasan arah dari perubahan
dankaitannya dengan kemaujudan realitas (maujud mungkin). Orang-orang
sepertiPlaton (Athena, 328/327-347/346 SM) dan Aristoteles[1]dari
Yunani yang dipolah oleh Socrates sebagai seorang guru bagi Platon, ataudi
dunia Timur, seperti al-Kindi,[2]al-Farabi[3],Aviciena[4]dan ibn
‘Arabi[5]
sertapemikir dari dunia Barat seperti Kant (1724-1804), Hegel (…) dan Marx
(..). Kesemuaitu berbicara mengenai wujud yang menampakkan diri-Nya dan arah
pergerakan darikehadiran yang demikian.
Daripenjabaran yang dikemukakan di atas, yang mejelaskan
bahwa kehidupan mengalamiperubahan dan dalam perubahan terjadi dinamika yang
dapat menimbulkanbenturan-benturan di alam, jika kita tak pernah mengetahui
arah dari perubahandan tujuan semua itu, maka tentu perubahan yang diusahakan
akan berputar-putar,yang pada akhirnya mengalami kejenuhan – yang artinya
kemandekkan untukmenggunakan kebebasan bertindak. Jika dilema memenuhi ruang
kehidupan, dan jikabenar segala perubahan memiliki tujuan dan disisi lain
pemahaman terhadapnyaadalah nihil, maka sudah tentu aktivitas akan menjadi
kesia-siaan dan energiyang keluar terbuang tanpa ada kepastian. Lalu apa yang dimaksud
denganperubahan atau gerak tersebut? Kemanakah arah perubahan itu? Adakah
perubahanitu terjadi dengan sia-sia, dan tanpa sebab? Jika ia memiliki sebab,
apakahsebab itu adalah dirinya (yang mengalami pergerakan itu) ataukah
karenaselainnya? Dan untuk apakah semua gerak itu; apakah ia adalah niscaya di
alamini ataukah tidak? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan coba kami jawab
padamakalah ringkas ini, sebagai pembuktian atas realitas gerak dan
keniscayaannya,dalam hubungannya dengan kesempurnaan maujud.Untuk
memudahkan pembahasan kita kedepan, kita akan membahas beberaba halyang menjadi
pijakan untuk menjawab berbagai persoalan diatas.
Pembahasan
Agar dapat sampai kepada apa yang
menjadi tujuan dari pembahasan ini, dan agarpenjelasan tersebut lebih jelas
posisinya, disini kita akan mengisyaratkanbeberapa hal yang akan membantu kita
dalam merumuskan persoalan gerak.
Makna Wujud
danMahiyah
Kepentinganmenjelaskan
wujud dan mahiyah, sebab perbincangan kita berkaitan dengan konseptersebut
dalam konteks perubahannya. Perubahan-perubahan yang memiliki subjekyang
berubah atau subjek yang sebenarnya adalah perubahan itu sendiri. Saatkita
mengamati sesuatu, kita memiliki dua hal, yang pertama keberadaannya,
dan yang kedua adalahbatasan atau keapaannya.
Ada atau wujud
adalah segala sesuatuyang kita termukan[6]yang meliputi keadaan materi maupun non
materi, yang nampak (zahir) maupun yang tidak nampak (batin).
Merujuk pada akar katanya, “katawujud sendiri berasal dari kata (arab) wajadayang
berarti menemukan, sedangkanwijdan adalah kata turunannya yang berarti intuisi.”[7]Lawan dari wujud adalah ketaksesuatuan, yang
pada pengertian sebenarnya ia bukanlah lawan, sebab wujudsendiri adalah
kesesuatuan yang berlaku pada setiap keberadaan. Sesuatu sendiridalam bahasa
Arab disebut dengan syay’. Dari akar kata yang sama timbulkata masyi’ah
yang berarti kehendak.[8]Jadi,
dapat dikata bahwa setiap maujud menemukan dirinya dan tak pernah lepasdari
tindakan yang lahir dari satu kehendak bebas sebagai wujud yang hadirdisetiap
keadaannya.
Berbedadengan wujud, mahiyah adalah keapaan sesuatu
yang diperoleh saatmengamati sesuatu. Perolehan ini menceritakan tentang
sesuatu (wujud) dalam tingkatan tertentu. Karnaia hanyalah cerita tentang
wujud, dan ceritatentang bukanlah wujud yang diceritakan, maka ia
bukanlah wujud itu sendirimelainkan keterangan tentang wujud yang dikonsepsi
akal kita.
Wujud Sebagai Realitas
Alsalahal-wujud
Ashalah al-wujud yang diartikan“kemendasaran wujud”
mengambil posisi penting dalam tradisi filsafat Islam,khususnya mazhab Shadrian
(shadraisme).Perdebatan yang terjadi dikalangan filusuf, terkait
kemendasaran yaitu, apakah wujud yang mendasar atau mahiyah.
Pernyataan ini bisa dipahami, dengan melihatkembali tentang persepsi
terhadap objek pengetahuan (husuli) atau pengetahuan perseptual yang
merepresentasikankemaujudan wujud. Warna putih atau hitam sebagai pahaman
adalah realitasinternal (pahaman;gambaran;bentuk-bentuk) yang memiliki efek
berbeda denganrealitas ekternalnya. Selain itu, putih pada pahaman adalah
mahiyah ataubatasan (esensi;keapaan) objek yang dipersepsi, yang hadir bukan
karna masuknyamateri (objek yang diamati). Karna ia bukannlah objek yang
diamati, melainkanwujud baru sebagai gambaran pada benak, maka bukanlah
realitas – di alam luaran– yang sama-sama mandiri atau terpisah dari objek yang
darinya putihdiabstraksi.
Namun kita pun mengetahui,terdapat bermacam-macam entitas
yang memiliki esensi tersendiri, yang darinyaia terbedakan dari selainya. Kenyataan
ini membawa peripatetisme untuk mengakuikemandirian eksistensi pada tataran
realitas namun beragam (pluralitas).Sebagaimana yang dijelaskan “aliran
peripatetik mengatakan yang menjadi dasarbagi keberadaan di alam eksternal
adalah wujud, tetapi wujud tersebut satu samalain berbeda (tabayun).”[9]Berbeda dengan itu, mazhab Isyrakiyahmentashdiq
bahwa mahiyah lah yang mendasari realitas ekternal, dan ini diilhamioleh
pemahaman Syekh Israk (Suhrawardi) terhadapi bentangan maujud dari yangpaling
atas ke yang paling bawah.
Bantahannya bahwa, wujud –seperti yang kami jelaskan pada
makna wujud – di alam ekternal tak terpisahkan,atau dengan kata lain, di alam
ekternal tidak terdapat dua entitas yang berbedapada qadhiyah, misalnya, “ada
handpone.” Adanya handpone dan hanpone tidakterpisahkan. Dan mengacu pada
argumen bahwa mahiyah atau keapaan adalahgambaran yang diabstraksi dari objek
tertentu, maka dapat kita katakan mestiada diantara salah satunya yang hakiki
atau menjadi sebab bagi yang lain. Jikadikata, mahiyah lah yang mendari
relitas, dan wujud adalah akibat, maka itubertentangan dengan penjelasan bahwa
mahiyah adalah keapaan yang diabstaraksi.Sebab ia adalah hasil abstraksi mental
(tinjauan akal) maka ia tidak dapatmenjadi dasar bagi realitas. Selainmerupakan
tinjauan akal, ia adalah salah satu wujud yang tidak memiliki efekseperti yang
dimiliki realitas eksternal, dan karena tidak memiliki, mustahilia memberi.
Dengan demikian, ia tak bisa menjadi dasar bagi realitas yangmemiliki efek
dengan bentuk-bentuknya yang khas.[10]Pada
akhirnya, harus diakui wujudlah yang mendasar.
Wahdahal-Wujud
Sebagimanapenjelasan diatas dan yang
terdahulu, wujud sebagai realitas dan menjadi dasarbagi keberadaan, ia meliputi
segala sesuatu, segala perkara, dan karnaperwujudannya ada pada setiap keadaan
maka tak ada selain dirinya. Karna yanglain adalah tiada, dan yang tiada
bukanlah lawan dari yang ada, maka wujudsendiri adalah tunggal dan sederhana.
Namun masih tetap ada persoalan yangperlu diselesaikan, yaitu kenyataan adanya
keberagaman. Pada lingkungan tempatkita hidup, tak mungkin untuk mengingkari
keragaman (pluralitas), sebab pluralias adalah realitas. Kenyataan
ituberbicara kepada kita tentang keberadaan mereka, bahwa mereka pun ada dan
harusdiperhitungkan. Karna mereka ada dan pada kesempatan lain tiada yang
lainselain wujud yang tunggal yang meliputi dengan pengertian Esa,
menjadikanqadhiyah ini seakan terjadi pertentangan (kontradiksi)antar
satu dan lainnya. Apakah kita harus kembali kepada mahiyah untukmenggantikan
posisi wujud di alam eksternal? Tidak perlu.
Kitaambil pohon untuk menjelaskan masalah ini. Pohon pada
qadhiyah “pohon itu ada”mengambil posisi sebagai “subjek”, dan “ada” merupakan
predikat bisa menjadibahan analisis. Apakah pohon (subjek) dan ada (predikat)
dapat dipisahkan;dapatkan kepohonan pohon dan adanya dapat dipisahkan?
Diketahui kepohonan pohonyang membedakan dirinya dari, misalnya, keayaman ayam
dan keterpisahankepohonan pohon dan adanya pohon itu sendiri mustahil terjadi.
Sebab, tiadanyapohon akan meniadakan kepohonannya pohon. Seandainya ada yang
bertanya, apa itupohon, maka jawaban yang diberi sudah tentu kepohonan pohon
(menjelaskan dengancara membatasi, agar ia menjadi jelas). Lau kita bertanya,
mengapa andabertanya? Jawabannya bisa bermacam-macam, tapi lazimnya, karna
kepohonan pohonmasih majhul baginya. Apakah ia akan bertanya
tentang sesuatu yangtidak ada? Tentu jawabannya tidak, karena selamanya yang
tidak ada tidak akanpernah ada sampai kapanpun (mustahil). Pada akhirnya, kita
pun mengatakan,wujud pohon, wujud, kucing, wujud manusia dan wujud murni satu
dalampengertiannya sebagai wujud, bukan sebagai esensi. Oleh karena itu,
kepohonanpohon, kekucingan kucing tak berarti apa-apa jika tak ada wujud.
Ketiadaan wujud, itu berarti ketiadaan yanglain. Karna ketiadaan bukanlah
sesuatu yang perlu diperbincangkan, maka kitakatakan kesatuan wujud adalah
realitas yang tak memiliki lawan (tunggal).
Tasykikal-wujud
Primordialitasatau
kesatuan wujud mengungkapkan kesamaan dalam identitas, karna wujud
berlakusebagai prinsip identitas. Kesamaan identitas ini tak membuat
kontradiksidengan keberagamannya. Melainkan menajadi konsekwen dari wujud
mutlak yangsempurna. Inti, esensi atau zat dari wujud ini adalah murni, dengan
arti bahwatidak terkotori oleh batasan-batasan dan kekurangan. Keserbacukupan
yangdimilikinya menjadikan dirinya tidak butuh terhadap yang selainnya, dan
karenapengertian keserbacukupan dan kemahameliputinya terhadap segala sesuatu,
makaia meniadakan pahaman tentang yang lain; yang lain menjadi akibatnya.
Pluralitasyang menceritakan wujud murni, merupakan konsekwen
dari keniscayaan wujudmutlak yang jauh dari kekurangan (ketidaksempurnaan),
adalah manifestasi ataupenampakan dirinya yang berada di ketinggian hierarki wujud.
Penampakan inidimaknai sebagai wujud yang menjelaskan dirinya dengan
bentuk-bentuk yangberagam. Dan oleh bentuk-bentuk dari penampakan yang
berbeda-beda inilah,sehingga melahirkan keberagaman. Dengan begitu, bahwa,
prinsip ini tidakberarti–kesatuan dalam –keragaman , sebagaimana hal itu umum
disalahpahami,tetapi berarti keragaman–dalam –kesatuan…”[11]Hal ini mensyaratkan
bahwa pada wujud-Nya tidak dapat disandangkan dengankekurangan atau
ketaksempurnaan.
Tasykik al wujud,
merupakan suatu prinsip yangmenjelaskan keberagaman dan kesatuan yang kembali
kepada wujud itu sendiri.Penjelasannya, mahiyah yang adalah respektival
bukanlah sesuatu yang hakiki danmandiri. Identitas dipahami pada kebenarannya
bukan keluar dari mahiyah bagaisatu keadaan yang mandiri seperti yang dipahami
Ibn Sina. Kalau kita telahsepakat dengan penjelasan diatas tentang keutamaan
wujud dan juga kekuranganmahiyah yang hanya hasil dari abstraksi mental kita,
maka disini kita punmengakui bahwasanya identitas tak keluar dari mahiyah
melainkan wujud. Mengapademikian? Karna wujudlah yang memiliki, dan yang
hakiki. Lalu untuk apa semuakeberagaman yang ada ini? Kita katakan – seperti
pada penjelasan terdahulu – keberagamantersebut merupakan konsekwensi logis
keniscayaan wujud Murni yang Maha Suci,yang keberadaan-Nya dengan sendirinya
menjelaskan keberadaannya secarabertingkat (gradasi). Sebab kekurangan kebertingakatan
(gradasi wujud) inilah, maka untuk menyempurna, ia harusmenuju kepada wujud
yang memberinya perwujudan. Disinilah posisi dan kebutuhankita utuk mebicarakan
gerak.
Untukmenyempurna, diperlukan perubahan-perubahan yang terus
menerus. Nah inilah yangberlangsung pada maujud sebagai manifestasi.
Kelebihunggulan dan kekuranganpada tiap-tiap maujud berkaitan dengan
kedekatannya dengan sumber wujud, yangbiasanya dianalogikan dengan cahaya.
Namun pada bentuknya yang sebenarnya,analogi ini pun tak bisa menjelaskan
kebertingkatan ini. Keberadaan maujudmungkin, bagai bayang-bayang yang jika ia
mendekat pada sumber cahaya, makakegelapannya makin berkurang dan begitupun
sebaliknya, jika menjauh maka iasemakin samar dan menghitam. Sebab dari keadaan
seperti ini yaitu,kebergantungan penuh kepada sumber (wujud murni), dan selalu
membutuhkan. Selanjutnya,keadaan memberi tidak seperti sesuatu memberi sesuatu
pada sesuatu, atauhubungan sebab dan akibat yang seakan sebab memberi sesuatu
kepada akibat. Yangterjadi adalah akibat merupakan kebergantungan itu sendiri,
yang memang tidakmemiliki apa-apa selain menjelaskan sebuah kisah tentang Wujud
Yang Maha Agung.
Gagasan Tentang Gerak
Sebagaimanayang
dipaparkan pada pendahuluan makalah ini, tentang perubahan maujud di alam,dan
setelah kita membicarakan persoalan wujud, yang berakhir dengan Tasykik al
Wujud, disini kita kembalimenelusuri apa yang dimaksud dengan gerak. Secara
umum, gerak didefinisikansebagai “pergeseran suatu objek dari satu titik ke
titik yang lain.”[12]Atau sesuatu dianggap bergerak jika kuiditas
mengalami perubahan dalamkedudukannya, seperti perputaran bumi mengelilingi
matahari (revolusi). Berbeda dengan pendapat umumyang dipahami
masyarakat, dalam filsafat, perubahan atau gerak memiliki syarattertentu agar
dapat dikatakan sebagai gerak. Syarat agar sesuatu dapatdiakatakn gerak yang pertama,“perubahan
itu tidak boleh ‘tiba-tiba’ (daf’i),yang artinya harus gradual (tadriji),juga
bahwa perubahan itu harus mempunyai ekstensi temporal walau pun hanyasesaat
saja. Kedua, perubahan ituharus mempunyai ekstensi yang dapat dibagi
secaya tidak terbatas, bukankumpulan atom-atom yang tidak dapat dibagi (seperti
paham atomisme).”[13]Selain itu, perlu diperhatikan bahwa gerak
sperti pada garis yang artinya bukanbagian-bagian garis atau kumpulan
titik-titik garis. Dengan demikian ia tidakmemiliki bagian-bagian yang telah
actual sebelumnya. Dengan definisi tersebut,terdapat empat kategori mengenai
gerak yang diterima– sebaelum Shadra – yaitu, pertama,spasial (posesi); kedua,
perputaran; ketiga, kuantitatif; dankeempat, kualitatif.
KategoriGerak Spasial (harakah intiqaliyyah)
Gerakan
pada kategori iniyaitu, perpindahan satu objek dari satu titik ke titik yang
lain. Atau dengankata lain, gerak perpindahan yang dapat dimaknai dengan gerak
posisi –sebagaimana yang disebut ibn Sina. Misal dari gerak ini yaitu,
perpindahanmobil dari kilo pertama ke kilo kedua; pergeseran buku pada sisi
meja tertentuke sisi yang lain.
KategoriGerak Perputaran (harakah wad’iyyah)
Gerak
perputaran yaitu gerakyang berada pada titik tertentu, namun mengalami
perubahan yang bertumpu padaporos atau pada titik tersebut. misalnya, gerak
kincir angin, yang berada tetappada posisinya, namun mengalami
perputaran/perubahan. Atau contoh lain,perputaran bumi pada porosnya (rotasi).
Kategori Gerak Kuantitatif (harakah kamiyyah)
Pada
kategori ini, gerak terjadi secara kuantitatifdengan artian, bertambah ukuran
seperti tinggi, besar dan semacamnya. Sebutirbenih yang ditanam – memiliki
potensi untuk – dapat berkembang menjadi tunas, berdaun dan
kemudianberbunga. Pertambahan ini dapat dikuantifikasi.
KategoriGerak Kualitatif (harakah kayfiyyah)
Adapunyang
dimaksud dengan gerak pada kategori kualitatif, yaitu perubahan yangterjadi
pada kualitas, sifat atau kekhasan pada sesuatu–yang dimilikinya.Peruahan warna
dengan intensitas tertentu kepada tingkat kecerahan ataukelemahan yang lain
adalah contoh dari gerak pada kategori kualitas. Perubahanwarna daun dari hijau
mudah ke yang lebih pekat (tua), dan kemudian berubahmenjadi kuning adalah
contoh lain dari gerak yang dimaksud. Perubahan-perubahanini, termasuk dalam
kualitas, atau sifat dari sesuatu.
Keempatkategori gerak diatas adalah gerak aksiden. Namun,
Shadra mempermasalahkan halini yang dijadikannya suatu soal untuk dijawab.
Salah satu soal tersebut yaitu,apakah gerak hanya terjadi pada tataran aksiden?
Bagaimana bisa gerak itudisebabkan oleh sesuatu yang tidak bergerak? Untuk
menjawab pertanyaantersebut, kita perlu menguraikan secukupnya apa yang
dimaksud dengan gerak –meskipun telah disebutkan di atas – dan juga apa yang
dimaksud dengan substansi.Selanjutnya, baru kita melihat seperti apa gerak
substansial.
GerakPada Substansi (harakah al jauhariyyah)
Sebagaimanayang
dijanjikan, maka perlu diingatkan kembali apa yang kami maksud dengangerak dan
substansi. Setelah itu, baru diketengahkan bagaimana gerak dapatterjadi pada
substasi. Gerak (harakah) adalah“keluarnyasesuatu secara gradual dari alam
potensi menuju alam aktual. Dan yang dimaksuddengan jauhar (substansi) adalah
kuiditas yang tidak memerlukan obyek tatkalamewujud di dunia eksternal. Berbeda
dengan 'aradh (aksiden) yang memerlukanobyek tatkala mewujud di dunia luaran.”[14]Atau ungkapan yang berbeda, “Harakah
(gerakan) dari tinjauan filsafat adalah perubahangradual atau keluarnya sesuatu
secara gradual dari alam potensial kepada alamaktual; artinya gerakan adalah
perkara eksistensial dimana sesuatu melaluiperantaranya secara gradual keluar
dari kondisi potensial menuju kondisiaktual. Gradualnya gerakan ini bermakna
bahwa bagian-bagian yang diasumsikanbagi wujudnya tidak dapat dikumpulkan pada
suatu masa secara bersamaan,melainkan mewujud sepanjang waktu secara gradual.”[15]Dengan
bersandarpada definisi tersebut, kita coba memahami bagaimana alam mengalami
perubahandan atau perkembangan terus menerus.
Menyangkut gerakan substansial,pada yang terdahulu – dan
mungkin sampai saat ini – ada orang-oang yang tidakmenerima gerak pada kategori
substansi, dengan alasan jika diasumsikan terjadigerak pada substansi, maka
kita tidak memiliki lagi subjek yang bergerak sebabsubjek itu adalah gerak
tersebut. Itu artinya, kita mengasumsikan adanya geraktanpa subjek yang bergerak,
atau mengkarakteristikan sesuatu pada sesuatu yangtidak berkarakteristik.
Seperti yang dijelaskan Ayatullah Misbah, merekamenganggap “…Gerak sebagai
keadaan yang dinisbatkan kepada sebuah subjek dengansubstansi yang konstan.
Jika substansi subjek tersebut mengalami fluks atauperubahan, kita tidak punya
lagi subjek yang kepadanya subjek tersebut dapatdinisbatkan.”[16] Namunkemudian, keberatan ini tercerahkan
oleh penjelasan Shadra tentang adanya gerakpada kategori substansi, yang
dikenal dengan gerakan substansial (al Harakah al Jauhariyyah).
Bukti utama adanya geraksubstansial, dapat dirangkai dengan
dua poin berikut, pertama, sebab langsung dari gerak benda aksidental
dan paling luar– apakah itu gerak mekanis atau alamiah – merupakan kekuatan
spesifik dalambenda tersebut. Kedua, efek gerakpasti sesuai dengan
sebabnya dalam stabilitas dan perihal dapat diperbaruinya.[17]
Gerak yang berlangsung padatataran aksiden, perubahan warna,
bertambah ukuran pada tumbuhan, kesemua itumembawa kita kepada hukum sebab
akibat. Sehingga, kebutuhan gerak itu pastinyakepada sesuatu yang lain selain
dirinya untuk dapat bergerak. Selanjutnya, kitapun menerima, akibat dari sebab
pastilah memiliki kesesuaian denganpenyebabnya. Dan karena aksiden dapat
diperberui dalam artian terus-menerusmengalami perkembangan dan keberlanjutan,
maka pastilah memiliki substansi yangjuga mengalami perubahan (pergerakan).
Jika tidak, maka perkembangan padaaksiden tidak dapat diperbarui yang artinya
statis, sebab ia mengikuti watakatau keadaan dari substansi sebagai wadah
kebergantungannya. Dengan begitu,gerak perubahan (kebaruan dan kepunahan)
mengalir secara bertahap mengikutiarah gerak substansial.
Kembali
pada tasykik alwujud, yang mengatakan kesatuan dan keberagaman kembali
kepada wujud;wujudlah yang memberi keragaman dan wujud pula yang memberi
kesamaan (meliputikeragaman itu) maka kesamaan itu sendiri dipengaruhi oleh
wujud. Muncul satupertanyaan, apakah wujud murni pun mengalami perubahan?
Tidak. Sebab perubahanatau gerak mengindikasikan ketidak sempurnaan dan itu
bertentangan dengankesempurnaan wujud. Artinya, wujud sendiri tidak mengalami
perubahan, namun iamemberi bentuk-bentuk pada materi sebagai penampakannnya
yang dikenaiperubahan. Dengan gerak substansial yang mengalir secara bertahap (gradual),terjadilah
proses kebaruan alam dari potensial menuju aktualitas. Denga katalain,
kemunculan eksistensi baru di alam merupakan akhir bagi yang lain
yangterjelaskan oleh gerak yang mengalir secara berangsur-angsur
melewatititik-titik kehidupan, dari satu keadaan ke keadaan yang lain.
Pada akhirnya, dapat dikata bahwa segalapenampakan di alam ini bukanlah
diri-Nya, dan dirinya bukanlah yang nampak itu.Akan tetapi, diri-Nya tak
terpisahkan dengan penampakkan tersebut, sebabpenampakkan itu sediri adalah
fakir wujud, yang artinya, kehadirannya adalah hubunganitu sendiri.
Keniscayaan Gerak
Perubahan-perubahan di alam ini tak terhindarkan,dan hal ini
dapat dibuktikan secara ilmihah bahwa perubahan adalah fenomenaalam yang tidak
bisa ditahan atau dihentikan oleh manusia, sebab pada dirinyasendiri mengalami
perubahan. Telah diketahui bahwa gerak terjadi secarabertahap mengikuti
perubahan pada substansi, dan juga dipahami bahwa selainwujud yang murni
(mutlak) adalah penampakan atau bayang-bayang yangmenceritakan tentang wujud
Yang Maha Sempurna. Juga, pada penampakan tidakselalu sama intensitasnya, yang
artinya penampakan itu mengalami gradasi bagaipancaran cahaya kehiupan. Jika ia
mendekat pada sumber cahaya, maka intensitasnyasemakin tinggi. Namun sekiranya
ia sampai pada sumber cahaya tersebut, maka iamelebur didalamm-Nya.
Gerak maujud yaitu memenuhi aktualitas dirinya,
daripotensial menuju aktualitas dan begitu pun sebaliknya, keaktualannya
mengandungpotensi untuk mengaktual sebagai wujud baru yang merupakan
kesempunaan dariwujud sebelumnya. Artinya, aktualitas yang pertama, adalah
akhir dari potensipertama, dan pada dirinya mengandung pontensi untuk mengaktul
pada tahapberikutnya sebagai akhir dari wujud yang sekarang, dan terus menerus
sebagaipenampakkan dari wujud mutlak tak berbatas. Dengan begitu, kebaruan
aksidenyang mengikuti gerak substansial adalah suatu hal yang niscaya,
sebagaimanakeniscayaan penampakkan wujud mutlak.
Gerak Sebagai Basis
Kesempurnaan(Aktualitas Diri)
Keberadaan
makhluk (ciptan;penampakan;menifestasiwujud mutlak) karna ia dapat berubah atau
bertransformasi dari satu keadaan kekeadaan yang lain, maka tentu pada keaadaan
aktualnya mengandung potensi yangtak terbatas – seperti penjelasan di atas.
Gagasan tentang bayang-bayang yangdinisbahkan kepada alam materi pun salah
satunya disebabkan penerimaan gerak.Mengapa gerak menjadi salah satu sebab
penerimaan bayang-bayang atau ketiadaan?Sebab penerimaan sebab tersebut adalah
gerak perubahan atau pembaruan hanyadapat terjadi jika memiliki potensi untuk
berubah dan diperbarui. Sekiranya iatidak memiliki potensi untuk itu, mustahil
ia menerima pembaruan itu.Selanjutnya, potensi bukanlah suatu hal yang actual
melainkan ia adalah kemungkinanyang ada hanya sebagai kemungkinan, dan bukan
sebalinya. Karenan kemungkinanbukan lawan dari tiada (kemustahilan) dan juga
bukan lawan dari yang ada(Keniscayaan), dan juga tidak dapat dikatakan ada,
maka dapat dipahami,penampakan itu pada hakikatnya adalah sekumpulan
potensi-potensi yang siapmengaktual atas kehendak yang mutlak. Kehendak itulah
yang memberinya wujudkarna pada dirinya –kemungkinan – tidak memiliki apa-apa
melainkankebergantungan (hubungannya) adalah wujudnya.
Mejadi jelas – paling tidak telah mendapatpenjelasan –
terhadap kefakiran yang nampak itu yang kehadirannya adalahaktualitas dari
potensial yang juga memiliki sejuta potensi, makakesempuranannya adalak
aktualnya potensi-potensi pada dirinya tersebut. Kesimpulannya,gerak mejadi
basis dari kesempurnaan makhluk dan kesempurnaan gerak adalahpenciptaan (penampakan)
wujud mutlak. Dari sini terlihatlah Kesempurnaan ituhanya dimiliki oleh Wujud
Niscaya, begiut pula, karna kesempurnaanmakhluk adalah aktualitas potensi
yang ia miliki, maka dalam upaya dan prosesmenyempurna ia menuju pada satu
titik, satu tujuan, yaitu Yang MemilikiKesempurnann agar dapat disebut
menyempurna[18].Mengapa?
Karena selainnya adalah kekurangan nyata dan ketidakpunyaan, sehinggamustahil
yang selainnya dapat memberi kesempurnaan itu. Mungkin keadaan iniyang dimaksud
Ayatullah Shadr terkaitdengan salah satu Ayat Suci al-Qur’an[19]
bahwa“…umat manusia berusaha dengan sekuat tenaga di setiap tingkatan untuk
menujukepada Tuhannya.”[20]
Akantetapi beliau pun menyampaikan, bahwa ayat ini tidak memaksa atau
memerintahkanmanusia untuk mengambil tindakan mengikuti jalan Tuhannya,
melainkan “…iamenyebutkan suatu kenyataan factual bahwa setiap gerakan manusia
dalamperjalanan sejarahnya yang panjang, adalah menuju Allah.”[21]
Ituberarti, setiap gerakan yang terjadi semua menuju kepada satu tujuan
sebagaicita-cita yang tinggi dan tak berbatas, Tuhan, Penguasa Semesta Alam.
Perlu disampaikan juga bahwa tidak semua perubahandikatakan
menuju kesempurnaan, meskipun secaya ontologism, semua menuju kepadaTuhan Yang
Mahasempurna. Hal ini terkait secara Aksiologis, yangberlangsung di alam
dan relevan dengankeadilan Tuhan. Gerakan maju yang dikatakankesempurnaan
(al-takamul) adalah “melangkah pada satu jalan menuju kesempuranaan,dan
beralih dari satu tahapan menuju tahapan lain, dari satu tingkatan
menujutingkat berikutnya.”[22]Artinya,
gerak perubahan tersebut harus berjalan pada satu jalan yangkualitasnya semakin
bertambah dan bukan berjalan pada garis yang berbeda-beda.Misalnya,
kesmepurnaan dalam bidang pendidikan yaitu, yang dulunya hanya 10%masyarakat
yang dapat membaca, pada saat sekarang terdapat 45% persen dan jugaterdapat
bidang lain yang sebelumnya belum ada yang sejalan dengan perkembangandan
kebutuhan masyarakat. Jika tidak demikian, adanya bidang tertentu
danmenghilangkan yang lain yang mensejahterakan masyarakat (masalah apa
yangmenjadi kebutuhan adalah masalah lain), maka tidak dapat
dikatakankesmepurnaan. Olehnya itu, perubahan yang dikatakan menyempurna harus
memilikiukuran atau tolak ukur. “Karena itu, takamul tidak berarti
berubahbegitu saja… dan tolak ukur tersebut yaitu, …jarak (menurut istilah parafilusuf)
mesti menyatu dengan gerak. …Jika jarak suatu gerak berbeda-beda, makadisitu
pasti terdapat lebih dari satu gerak. Dan gerak menuju kesempuranaan,jaraknya
harus hanya satu.”[23]
Gerak yang berovolusi menuju ke nonmateri (jiwamengaktual)
sebagai suatu kualitas makhluk hidup. Gerak yang tak terbatasmenuju cita-cita
yang sejati. Kesadaran pada makhluk, yang merupakan akibatdari yang sadar dan
mengetahui segala sesuatu harus diterima karena itu sejalandengan sebabnya.
Pada saat ini, kita katakan (sebagai hipotesis) –dengan bersandar pada
hukum keselarasan tersebut – setiap yang ada di alam inimemiliki jiwa dan kesadaran
serta kesempurnaan (pada dirinya), sesuai tingkatperwujudannya masing-masing. allah
a’lam.
Kesimpulan
Rasanyaingin
mengemukakan kesimpulan yang panjang, namun karena itu hanyalah rasa danrasa
tak bisa kami jadikan criteria, maka disini hanya dibeberkan berapa katasaja
sebagai kesimpulan dari pembahasan sebelumnya atas dasar, yang mengikutitulisan
ini memiliki pemahan sesuai kapasitasnya yang bisa dijadikannyakesimpulan juga.
Kesimpulankami bahwa, keniscayaan wujud, meniscayakan penampakkan
dirinya atau,keberadaan pencipta dengan sendirinya meniscayakan adanya ciptaan.
Dan karenakehadiran ciptaan ini bukan dri-Nya melainkan manifestasi, maka
ketidaksempurnaan makhluk dalam hubungannya dengan wujud mutlak adalah
pasti.Dengan demikian, gerak maju mendekati sumber wujudnya menjadi langkah
menujukesempurnaannya. Kemudian, sebab setiap gerak menuju satu titik, maka
gerakadalah basis aktualisasi diri dan niscaya adanya. Maka manusia, haiwanunnatiq,
yang memiliki potensi untuk berevolusi tak mungkin lepas denganpersepsi.
Dengan persepsi, potensi menjadi aktual secara teoritis dan secaratindakan,
yaitu persepsi menjadi wujud yang tak terpisah dengan dirinya. Jikaia
bersama wujud, maka berbuatannya akanbesesuaian dengan wujud sehingga evolusi
diri tersebut akan menjadi basis bagievolusi masyarakat yang sadar terhadap
cita-citanya yang tinggi. Sekian,wasslam….
SekilasBahanBacaan(SBB):
JurnalMulla Shadra Vol.2., dan 4.
RausyanFikr Institute
Jurnalal-Huda
M.Baqir Shadr. Falsafatuna.
TerbitanRausyanFikr Institute
MurtadhaMuthahhari.
Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi dan Jati DiriManusia.
Penerbit Lentera
Mustaminal
Mundiri (ed.). Menuju Kesempurnaan: Persepsi dalamPemikiran Mulla
Shadra. Penerbit, Safina
MuhsinLabib. Para Filosof.
Penerbit,Al-Huda
M.Baqir
Shadr. Paradigma dan KecenderunganSejarah dalam al-Qur’an. Penerbit,
Shadra Press
MurtadhaMuthahhari. Manusia
Sempurna.Penerbit, RausyanFikr Institute
M.T.Misbah Yazdi. Jagad Diri.
Penerbit,Al-Huda
[1] 384-322
SM,seorang filusuf Yunani, yang dikenal sebagai orang yang pertama kali
merumuskanIlmu Logika
[2] Abu
YusufYa’qub bin Ishaq bin Sabab bin Imran bin Isma’il bin Muhammad al-Ash bin
Qaisal Kindi, lahir di Kufah, Irah pada 185 H (801 M). ia adalah seorang
ilmuanIslam yang memiliki karya-karya seperti logika, filsafat dan Kedokteran
setailmu-ilmu lainnya.
[3] Abu
NashrMuhammad al-Farabi, lahir di Wasij,suatu desa di Farab (Transoksania),
Khorasan, pada 257 H (870 M). ada yangmengatakan ia berasal dari Turki.
[4]
Aviciena(980-1037) adalah filusuf dan ahli dalambidang kedokteran Muslim
yang cukup terkenal di dunia Timur maupun barat dengantokoh Peripatetik. Nama
aslinya, Abu Ali al Husain ibn Abdullah ibn Sina.Dilahirkan pada 980 disebuah
desa bernama Afshanahdekat Bukhara yang saat ini terletakdi
pinggiran Rusia.
[5] Ibn
‘Arabi(abad ke 7 Hijriyah), adalah seorang irfan yang terkenal. Mulla Shadra
sendirimenjadikan karyanya sebagai bahan rujukan diantara yang lain.
[6] Musa
Kazim. Tafsir Sufi, hal.23
[7] Ibid.,
hal.25
[8] Ibid.,
[9] M. Nur. Wahdah
al-Wujud ibn ‘Arabi & FilsafatWujud Mulla Shadra, hlm.26
[10] Disini,
kitatak harus menjelaskan secara mendetail dan memaparkan argumen dari
pahamkemendasaran wujud, sebab tujuan kami hanya memperlihatkan kemendasaran
inisecukupnya demi pemanfaatan penjelasan berikutnya. Ada pun buku yang
membahastentang hal ini, dapat merujuk pada M.T. Misbah Yasdi. Buku Daras
Filsafat Isalam., Aayatullah Muthahhari. Filsafat Hikmah., Muhammad
Nur. Wahdah al-Wujud ibn ‘Arabi & FilsafatWujud Mulla Shadra., Musa
Kazim. TafsirSufi dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan pada
kesempatan ini.
[11] Fazlur
Rahman.Filsafat Shadra. hlm.53
[12] Lihat
Mustaminal Mandiri (ed.). Menuju Kesempurnaan. hlm.189
[13] Ibid.,
[14] Artikel. ApaGerakan
Substansial (al Harakah al Jauhariyyah) itu dan Bagaimana PeranannyaDalam
Kehidupan Manusia?.
[15] Ibid.,
[16] .
cit.,hal.191
[18]
Sempurnaadalah pendakian vertikal menuju tingkat tertinggi yang mungkin.
Kesmpurnaanartinya mampu ngembangkan seluruh potensi yang dimilikinya secara
seimbang danproporsional. Perlu diketahui, istilah sempurna tidak ada dalam
literatur Islamsampai abad ke-7 Hijriah. Yang pertama kali menggunakan istilah
ini disuniaIslam yaitu, sufi (‘arif) mashur Muhyiddin ibn ‘Arabi al-Andalusi
al-tha’I (w.1240). Ia seorang bapak ‘rfan (tasawuf) Islam. Untuk lebih
jelasnya, merujuk keMuthahhari. Manusia Sempurna dan Manusia
Seutuhnya.
[19] Haimanusia,
sesunggunnya kamu semua sedang bekerja dengan sungguh-sungguh menujuTuhanmu,
maka pasti kamu akan menemuinya”, (QS. 84:6)
[20] M. Baqir
Shadr.Paradigma dan Kecenderungan Sejarah dalam Al-Qur’an. hlm.191
[21]Ibid.,
[22]
AyatullahMuthahhari. Fitrah. Hlm. 125
[23] Ibid.,