Rabu, 24 Juli 2013

Gerak Sebagai Keniscayaan Maujud dan Basis Kesempurnaan (Aktualisasi Diri)

Pernah di Posting13 Juli 2013 pukul 2:08
Pada makalah ini, kami inginmenunjukkan posisi gerak pada realitas dan keniscayaannya dalam penampakkan,dan menjelaskan bagaimana gerak dengan kesempurnaan makhluk. Namun sebelum masuk pembahasan mengenai gerak dan gagasan tentang kesempurnaan makhluk, dikemukakan beberapa argumen mengenai kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), kesatuan wujud (wahdah al-wujud) dan kebertingkatan/gradasi wujud (tasykik al-wujud).(elian, Makassar)

Prolog
Kehidupankami artikan sebagai aktivitas yang dijalani oleh makhluk-makhluk yangmenginginkan sesuatu sebagai kebutuhan wujudnya. Hidup yang adalah maujud yangberkesadaran, dalam setiap saat memerlukan suatu hal untuk memenuhi apa yang iabutuhkan agar tetap maujud. Yang karenannya, kehidupan sebagai aktifitas,mengharuskan gagasan tentang perubahan. Perubahan tersebut terlihat sebagaifenomena yang terus berlangsung pada kehidupan maujud di alam raya. Dari sini kita menuai pehaman, seandainya takada perubahan, maka itu bukanlah kehidupan dan pada akhirnya menghilangkanpemahaman tentang hidup. Tapi kita pun mendapati bahwa tak hanya satu maujudyang nampak itu mengalami perubahan.

Dariperubahan yang terjadi, dan beragamnya penampakan tersebut membuka kemungkinanterjadinya benturan antar entitas-entitas. Gagasan ini didapat dari beragamnyakebutuhan antar makhluk yang fana tersebut pada relasinya dengan yang lain.Atau dapat dikata, kebutuhan untuk tetap maujud – terutama makhluk yangmemiliki kehendak – membuka ruang terjadinya persaingan agar tetap eksis. Jikapemahaman ini dinisbahkan kepada manusia, dan melihat relasinya dalam lingkupsosial-budaya maka sudah tentu dinamika itu menjadi hal yang bukan tidak wajar,atau lazim. Disini dapat dimanfaatkan toeri-teori sosial yang menjelaskantentang hubungan antar makhluk hidup yang mempunyai keinginan merealisasikankeinginan itu. Sejalan dengan penjelasan tersebut, kita ambil saja “komunikasi”antarpribadi sebagai hubungan antarpribadi – dalam konteks komunikasi – dapatmenjadi erat atau pun sebaliknya. Sebab terjadinya keerat-keretakan tersebutdapat bermacam-macam, dan salah satunya – bisa jadi – kepentingan yang berbeda.Lalu mengapa harus terjadi perbedaan kepentingan, sementara sama-sama berada dibawah payung Genus dan satu esensiyang terjelaskan pada bingkai spesies yangtak berbeda. 

Perubahandalam kehidupan dan dinamika yang menyertainya menempuh satu tujuan sebagaicita-cita yang membangkitkan setiap maujud di alam ini untuk menggapainya. Kepentinganterhadap pemahaman perubahan serta arah dari perubahan tersebut membuatbeberapa tokoh mengerutkan wajahnya hanya untuk menuai kejelasan tentangnya.Dengan kemunculan argumen dari para pemikir terdahulu tersebut menambahpengetahuan kita terhadap pentingnnya penjelasan arah dari perubahan dankaitannya dengan kemaujudan realitas (maujud mungkin). Orang-orang sepertiPlaton (Athena, 328/327-347/346 SM) dan Aristoteles[1]dari Yunani yang dipolah oleh Socrates sebagai seorang guru bagi Platon, ataudi dunia Timur, seperti al-Kindi,[2]al-Farabi[3],Aviciena[4]dan ibn ‘Arabi[5] sertapemikir dari dunia Barat seperti Kant (1724-1804), Hegel (…) dan Marx (..). Kesemuaitu berbicara mengenai wujud yang menampakkan diri-Nya dan arah pergerakan darikehadiran yang demikian.

Daripenjabaran yang dikemukakan di atas, yang mejelaskan bahwa kehidupan mengalamiperubahan dan dalam perubahan terjadi dinamika yang dapat menimbulkanbenturan-benturan di alam, jika kita tak pernah mengetahui arah dari perubahandan tujuan semua itu, maka tentu perubahan yang diusahakan akan berputar-putar,yang pada akhirnya mengalami kejenuhan – yang artinya kemandekkan untukmenggunakan kebebasan bertindak. Jika dilema memenuhi ruang kehidupan, dan jikabenar segala perubahan memiliki tujuan dan disisi lain pemahaman terhadapnyaadalah nihil, maka sudah tentu aktivitas akan menjadi kesia-siaan dan energiyang keluar terbuang tanpa ada kepastian. Lalu apa yang dimaksud denganperubahan atau gerak tersebut? Kemanakah arah perubahan itu? Adakah perubahanitu terjadi dengan sia-sia, dan tanpa sebab? Jika ia memiliki sebab, apakahsebab itu adalah dirinya (yang mengalami pergerakan itu) ataukah karenaselainnya? Dan untuk apakah semua gerak itu; apakah ia adalah niscaya di alamini ataukah tidak? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan coba kami jawab padamakalah ringkas ini, sebagai pembuktian atas realitas gerak dan keniscayaannya,dalam hubungannya dengan kesempurnaan maujud.Untuk memudahkan pembahasan kita kedepan, kita akan membahas beberaba halyang menjadi pijakan untuk menjawab berbagai persoalan diatas.

Pembahasan
Agar dapat sampai kepada apa yang menjadi tujuan dari pembahasan ini, dan agarpenjelasan tersebut lebih jelas posisinya, disini kita akan mengisyaratkanbeberapa hal yang akan membantu kita dalam merumuskan persoalan gerak.

Makna Wujud danMahiyah             
Kepentinganmenjelaskan wujud dan mahiyah, sebab perbincangan kita berkaitan dengan konseptersebut dalam konteks perubahannya. Perubahan-perubahan yang memiliki subjekyang berubah atau subjek yang sebenarnya adalah perubahan itu sendiri. Saatkita mengamati sesuatu, kita memiliki dua hal, yang pertama keberadaannya, dan yang kedua adalahbatasan atau keapaannya

Ada atau wujud adalah segala sesuatuyang kita termukan[6]yang meliputi keadaan materi maupun non materi, yang nampak (zahir) maupun yang tidak nampak (batin). Merujuk pada akar katanya, “katawujud sendiri berasal dari kata (arab) wajadayang berarti menemukan, sedangkanwijdan adalah kata turunannya yang berarti intuisi.”[7]Lawan dari wujud adalah ketaksesuatuan, yang pada pengertian  sebenarnya ia bukanlah lawan, sebab wujudsendiri adalah kesesuatuan yang berlaku pada setiap keberadaan. Sesuatu sendiridalam bahasa Arab disebut dengan syay’. Dari akar kata yang sama timbulkata masyi’ah yang berarti kehendak.[8]Jadi, dapat dikata bahwa setiap maujud menemukan dirinya dan tak pernah lepasdari tindakan yang lahir dari satu kehendak bebas sebagai wujud yang hadirdisetiap keadaannya.

Berbedadengan wujud, mahiyah adalah keapaan sesuatu yang diperoleh saatmengamati sesuatu. Perolehan ini menceritakan tentang sesuatu (wujud) dalam tingkatan tertentu. Karnaia hanyalah cerita tentang wujud, dan ceritatentang bukanlah wujud yang diceritakan, maka ia bukanlah wujud itu sendirimelainkan keterangan tentang wujud yang dikonsepsi akal kita.

Wujud Sebagai Realitas
Alsalahal-wujud
Ashalah al-wujud yang diartikan“kemendasaran wujud” mengambil posisi penting dalam tradisi filsafat Islam,khususnya mazhab Shadrian (shadraisme).Perdebatan yang terjadi dikalangan filusuf, terkait kemendasaran yaitu, apakah wujud yang mendasar atau mahiyah.  Pernyataan ini bisa dipahami, dengan melihatkembali tentang persepsi terhadap objek pengetahuan (husuli) atau pengetahuan perseptual yang merepresentasikankemaujudan wujud. Warna putih atau hitam sebagai pahaman adalah realitasinternal (pahaman;gambaran;bentuk-bentuk) yang memiliki efek berbeda denganrealitas ekternalnya. Selain itu, putih pada pahaman adalah mahiyah ataubatasan (esensi;keapaan) objek yang dipersepsi, yang hadir bukan karna masuknyamateri (objek yang diamati). Karna ia bukannlah objek yang diamati, melainkanwujud baru sebagai gambaran pada benak, maka bukanlah realitas – di alam luaran– yang sama-sama mandiri atau terpisah dari objek yang darinya putihdiabstraksi.

Namun kita pun mengetahui,terdapat bermacam-macam entitas yang memiliki esensi tersendiri, yang darinyaia terbedakan dari selainya. Kenyataan ini membawa peripatetisme untuk mengakuikemandirian eksistensi pada tataran realitas namun beragam (pluralitas).Sebagaimana yang dijelaskan “aliran peripatetik mengatakan yang menjadi dasarbagi keberadaan di alam eksternal adalah wujud, tetapi wujud tersebut satu samalain berbeda (tabayun).”[9]Berbeda dengan itu, mazhab Isyrakiyahmentashdiq bahwa mahiyah lah yang mendasari realitas ekternal, dan ini diilhamioleh pemahaman Syekh Israk (Suhrawardi) terhadapi bentangan maujud dari yangpaling atas ke yang paling bawah. 

Bantahannya bahwa, wujud –seperti yang kami jelaskan pada makna wujud – di alam ekternal tak terpisahkan,atau dengan kata lain, di alam ekternal tidak terdapat dua entitas yang berbedapada qadhiyah, misalnya, “ada handpone.” Adanya handpone dan hanpone tidakterpisahkan. Dan mengacu pada argumen bahwa mahiyah atau keapaan adalahgambaran yang diabstraksi dari objek tertentu, maka dapat kita katakan mestiada diantara salah satunya yang hakiki atau menjadi sebab bagi yang lain. Jikadikata, mahiyah lah yang mendari relitas, dan wujud adalah akibat, maka itubertentangan dengan penjelasan bahwa mahiyah adalah keapaan yang diabstaraksi.Sebab ia adalah hasil abstraksi mental (tinjauan akal) maka ia tidak dapatmenjadi dasar bagi realitas. Selainmerupakan tinjauan akal, ia adalah salah satu wujud yang tidak memiliki efekseperti yang dimiliki realitas eksternal, dan karena tidak memiliki, mustahilia memberi. Dengan demikian, ia tak bisa menjadi dasar bagi realitas yangmemiliki efek dengan bentuk-bentuknya yang khas.[10]Pada akhirnya, harus diakui wujudlah yang mendasar.

Wahdahal-Wujud
Sebagimanapenjelasan diatas dan yang terdahulu, wujud sebagai realitas dan menjadi dasarbagi keberadaan, ia meliputi segala sesuatu, segala perkara, dan karnaperwujudannya ada pada setiap keadaan maka tak ada selain dirinya. Karna yanglain adalah tiada, dan yang tiada bukanlah lawan dari yang ada, maka wujudsendiri adalah tunggal dan sederhana. Namun masih tetap ada persoalan yangperlu diselesaikan, yaitu kenyataan adanya keberagaman. Pada lingkungan tempatkita hidup, tak mungkin untuk mengingkari keragaman (pluralitas), sebab pluralias adalah realitas. Kenyataan ituberbicara kepada kita tentang keberadaan mereka, bahwa mereka pun ada dan harusdiperhitungkan. Karna mereka ada dan pada kesempatan lain tiada yang lainselain wujud yang tunggal yang meliputi dengan pengertian Esa, menjadikanqadhiyah ini seakan terjadi pertentangan (kontradiksi)antar satu dan lainnya. Apakah kita harus kembali kepada mahiyah untukmenggantikan posisi wujud di alam eksternal? Tidak perlu.

Kitaambil pohon untuk menjelaskan masalah ini. Pohon pada qadhiyah “pohon itu ada”mengambil posisi sebagai “subjek”, dan “ada” merupakan predikat bisa menjadibahan analisis. Apakah pohon (subjek) dan ada (predikat) dapat dipisahkan;dapatkan kepohonan pohon dan adanya dapat dipisahkan? Diketahui kepohonan pohonyang membedakan dirinya dari, misalnya, keayaman ayam dan keterpisahankepohonan pohon dan adanya pohon itu sendiri mustahil terjadi. Sebab, tiadanyapohon akan meniadakan kepohonannya pohon. Seandainya ada yang bertanya, apa itupohon, maka jawaban yang diberi sudah tentu kepohonan pohon (menjelaskan dengancara membatasi, agar ia menjadi jelas). Lau kita bertanya, mengapa andabertanya? Jawabannya bisa bermacam-macam, tapi lazimnya, karna kepohonan pohonmasih majhul baginya.  Apakah ia akan bertanya tentang sesuatu yangtidak ada? Tentu jawabannya tidak, karena selamanya yang tidak ada tidak akanpernah ada sampai kapanpun (mustahil). Pada akhirnya, kita pun mengatakan,wujud pohon, wujud, kucing, wujud manusia dan wujud murni satu dalampengertiannya sebagai wujud, bukan sebagai esensi. Oleh karena itu, kepohonanpohon, kekucingan kucing tak berarti apa-apa jika tak ada wujud.  Ketiadaan wujud, itu berarti ketiadaan yanglain. Karna ketiadaan bukanlah sesuatu yang perlu diperbincangkan, maka kitakatakan kesatuan wujud adalah realitas yang tak memiliki lawan (tunggal).

Tasykikal-wujud
Primordialitasatau kesatuan wujud mengungkapkan kesamaan dalam identitas, karna wujud berlakusebagai prinsip identitas. Kesamaan identitas ini tak membuat kontradiksidengan keberagamannya. Melainkan menajadi konsekwen dari wujud mutlak yangsempurna. Inti, esensi atau zat dari wujud ini adalah murni, dengan arti bahwatidak terkotori oleh batasan-batasan dan kekurangan. Keserbacukupan yangdimilikinya menjadikan dirinya tidak butuh terhadap yang selainnya, dan karenapengertian keserbacukupan dan kemahameliputinya terhadap segala sesuatu, makaia meniadakan pahaman tentang yang lain; yang lain menjadi akibatnya.

Pluralitasyang menceritakan wujud murni, merupakan konsekwen dari keniscayaan wujudmutlak yang jauh dari kekurangan (ketidaksempurnaan), adalah manifestasi ataupenampakan dirinya yang berada di ketinggian hierarki wujud. Penampakan inidimaknai sebagai wujud yang menjelaskan dirinya dengan bentuk-bentuk yangberagam. Dan oleh bentuk-bentuk dari penampakan yang berbeda-beda inilah,sehingga melahirkan keberagaman. Dengan begitu, bahwa, prinsip ini tidakberarti–kesatuan dalam –keragaman , sebagaimana hal itu umum disalahpahami,tetapi berarti keragaman–dalam –kesatuan…”[11]Hal ini mensyaratkan bahwa pada wujud-Nya tidak dapat disandangkan dengankekurangan atau ketaksempurnaan.

Tasykik al wujud, merupakan suatu prinsip yangmenjelaskan keberagaman dan kesatuan yang kembali kepada wujud itu sendiri.Penjelasannya, mahiyah yang adalah respektival bukanlah sesuatu yang hakiki danmandiri. Identitas dipahami pada kebenarannya bukan keluar dari mahiyah bagaisatu keadaan yang mandiri seperti yang dipahami Ibn Sina. Kalau kita telahsepakat dengan penjelasan diatas tentang keutamaan wujud dan juga kekuranganmahiyah yang hanya hasil dari abstraksi mental kita, maka disini kita punmengakui bahwasanya identitas tak keluar dari mahiyah melainkan wujud. Mengapademikian? Karna wujudlah yang memiliki, dan yang hakiki. Lalu untuk apa semuakeberagaman yang ada ini? Kita katakan – seperti pada penjelasan terdahulu – keberagamantersebut merupakan konsekwensi logis keniscayaan wujud Murni yang Maha Suci,yang keberadaan-Nya dengan sendirinya menjelaskan keberadaannya secarabertingkat (gradasi). Sebab kekurangan kebertingakatan (gradasi wujud) inilah, maka untuk menyempurna, ia harusmenuju kepada wujud yang memberinya perwujudan. Disinilah posisi dan kebutuhankita utuk mebicarakan gerak.

Untukmenyempurna, diperlukan perubahan-perubahan yang terus menerus. Nah inilah yangberlangsung pada maujud sebagai manifestasi. Kelebihunggulan dan kekuranganpada tiap-tiap maujud berkaitan dengan kedekatannya dengan sumber wujud, yangbiasanya dianalogikan dengan cahaya. Namun pada bentuknya yang sebenarnya,analogi ini pun tak bisa menjelaskan kebertingkatan ini. Keberadaan maujudmungkin, bagai bayang-bayang yang jika ia mendekat pada sumber cahaya, makakegelapannya makin berkurang dan begitupun sebaliknya, jika menjauh maka iasemakin samar dan menghitam. Sebab dari keadaan seperti ini yaitu,kebergantungan penuh kepada sumber (wujud murni), dan selalu membutuhkan. Selanjutnya,keadaan memberi tidak seperti sesuatu memberi sesuatu pada sesuatu, atauhubungan sebab dan akibat yang seakan sebab memberi sesuatu kepada akibat. Yangterjadi adalah akibat merupakan kebergantungan itu sendiri, yang memang tidakmemiliki apa-apa selain menjelaskan sebuah kisah tentang Wujud Yang Maha Agung.

Gagasan Tentang Gerak
Sebagaimanayang dipaparkan pada pendahuluan makalah ini, tentang perubahan maujud di alam,dan setelah kita membicarakan persoalan wujud, yang berakhir dengan Tasykik al Wujud, disini kita kembalimenelusuri apa yang dimaksud dengan gerak. Secara umum, gerak didefinisikansebagai “pergeseran suatu objek dari satu titik ke titik yang lain.”[12]Atau sesuatu dianggap bergerak jika kuiditas mengalami perubahan dalamkedudukannya, seperti perputaran bumi mengelilingi matahari (revolusi). Berbeda dengan pendapat umumyang dipahami masyarakat, dalam filsafat, perubahan atau gerak memiliki syarattertentu agar dapat dikatakan sebagai gerak. Syarat agar sesuatu dapatdiakatakn gerak yang pertama,“perubahan itu tidak boleh ‘tiba-tiba’ (daf’i),yang artinya harus gradual (tadriji),juga bahwa perubahan itu harus mempunyai ekstensi temporal walau pun hanyasesaat saja. Kedua, perubahan ituharus mempunyai ekstensi yang dapat dibagi secaya tidak terbatas, bukankumpulan atom-atom yang tidak dapat dibagi (seperti paham atomisme).”[13]Selain itu, perlu diperhatikan bahwa gerak sperti pada garis yang artinya bukanbagian-bagian garis atau kumpulan titik-titik garis. Dengan demikian ia tidakmemiliki bagian-bagian yang telah actual sebelumnya. Dengan definisi tersebut,terdapat empat kategori mengenai gerak yang diterima– sebaelum Shadra – yaitu, pertama,spasial (posesi); kedua, perputaran; ketiga, kuantitatif; dankeempat, kualitatif.

KategoriGerak Spasial (harakah intiqaliyyah)
Gerakan pada kategori iniyaitu, perpindahan satu objek dari satu titik ke titik yang lain. Atau dengankata lain, gerak perpindahan yang dapat dimaknai dengan gerak posisi –sebagaimana yang disebut ibn Sina. Misal dari gerak ini yaitu, perpindahanmobil dari kilo pertama ke kilo kedua; pergeseran buku pada sisi meja tertentuke sisi yang lain.

KategoriGerak Perputaran (harakah wad’iyyah)
Gerak perputaran yaitu gerakyang berada pada titik tertentu, namun mengalami perubahan yang bertumpu padaporos atau pada titik tersebut. misalnya, gerak kincir angin, yang berada tetappada posisinya, namun mengalami perputaran/perubahan. Atau contoh lain,perputaran bumi pada porosnya (rotasi).

Kategori Gerak Kuantitatif (harakah kamiyyah)
Pada kategori ini, gerak terjadi secara kuantitatifdengan artian, bertambah ukuran seperti tinggi, besar dan semacamnya. Sebutirbenih yang ditanam – memiliki potensi untuk – dapat  berkembang menjadi tunas, berdaun dan kemudianberbunga. Pertambahan ini dapat dikuantifikasi.

KategoriGerak Kualitatif (harakah kayfiyyah)
Adapunyang dimaksud dengan gerak pada kategori kualitatif, yaitu perubahan yangterjadi pada kualitas, sifat atau kekhasan pada sesuatu–yang dimilikinya.Peruahan warna dengan intensitas tertentu kepada tingkat kecerahan ataukelemahan yang lain adalah contoh dari gerak pada kategori kualitas. Perubahanwarna daun dari hijau mudah ke yang lebih pekat (tua), dan kemudian berubahmenjadi kuning adalah contoh lain dari gerak yang dimaksud. Perubahan-perubahanini, termasuk dalam kualitas, atau sifat dari sesuatu.

Keempatkategori gerak diatas adalah gerak aksiden. Namun, Shadra mempermasalahkan halini yang dijadikannya suatu soal untuk dijawab. Salah satu soal tersebut yaitu,apakah gerak hanya terjadi pada tataran aksiden? Bagaimana bisa gerak itudisebabkan oleh sesuatu yang tidak bergerak? Untuk menjawab pertanyaantersebut, kita perlu menguraikan secukupnya apa yang dimaksud dengan gerak –meskipun telah disebutkan di atas – dan juga apa yang dimaksud dengan substansi.Selanjutnya, baru kita melihat seperti apa gerak substansial.           

GerakPada Substansi (harakah al jauhariyyah)
Sebagaimanayang dijanjikan, maka perlu diingatkan kembali apa yang kami maksud dengangerak dan substansi. Setelah itu, baru diketengahkan bagaimana gerak dapatterjadi pada substasi. Gerak (harakah) adalah“keluarnyasesuatu secara gradual dari alam potensi menuju alam aktual. Dan yang dimaksuddengan jauhar (substansi) adalah kuiditas yang tidak memerlukan obyek tatkalamewujud di dunia eksternal. Berbeda dengan 'aradh (aksiden) yang memerlukanobyek tatkala mewujud di dunia luaran.”[14]Atau ungkapan yang berbeda, “Harakah (gerakan) dari tinjauan filsafat adalah perubahangradual atau keluarnya sesuatu secara gradual dari alam potensial kepada alamaktual; artinya gerakan adalah perkara eksistensial dimana sesuatu melaluiperantaranya secara gradual keluar dari kondisi potensial menuju kondisiaktual. Gradualnya gerakan ini bermakna bahwa bagian-bagian yang diasumsikanbagi wujudnya tidak dapat dikumpulkan pada suatu masa secara bersamaan,melainkan mewujud sepanjang waktu secara gradual.”[15]Dengan bersandarpada definisi tersebut, kita coba memahami bagaimana alam mengalami perubahandan atau perkembangan terus menerus.

Menyangkut gerakan substansial,pada yang terdahulu – dan mungkin sampai saat ini – ada orang-oang yang tidakmenerima gerak pada kategori substansi, dengan alasan jika diasumsikan terjadigerak pada substansi, maka kita tidak memiliki lagi subjek yang bergerak sebabsubjek itu adalah gerak tersebut. Itu artinya, kita mengasumsikan adanya geraktanpa subjek yang bergerak, atau mengkarakteristikan sesuatu pada sesuatu yangtidak berkarakteristik. Seperti yang dijelaskan Ayatullah Misbah, merekamenganggap “…Gerak sebagai keadaan yang dinisbatkan kepada sebuah subjek dengansubstansi yang konstan. Jika substansi subjek tersebut mengalami fluks atauperubahan, kita tidak punya lagi subjek yang kepadanya subjek tersebut dapatdinisbatkan.”[16] Namunkemudian, keberatan ini tercerahkan oleh penjelasan Shadra tentang adanya gerakpada kategori substansi, yang dikenal dengan gerakan substansial (al Harakah al Jauhariyyah).

Bukti utama adanya geraksubstansial, dapat dirangkai dengan dua poin berikut, pertama, sebab langsung dari gerak benda aksidental dan paling luar– apakah itu gerak mekanis atau alamiah – merupakan kekuatan spesifik dalambenda tersebut. Kedua, efek gerakpasti sesuai dengan sebabnya dalam stabilitas dan perihal dapat diperbaruinya.[17]

Gerak yang berlangsung padatataran aksiden, perubahan warna, bertambah ukuran pada tumbuhan, kesemua itumembawa kita kepada hukum sebab akibat. Sehingga, kebutuhan gerak itu pastinyakepada sesuatu yang lain selain dirinya untuk dapat bergerak. Selanjutnya, kitapun menerima, akibat dari sebab pastilah memiliki kesesuaian denganpenyebabnya. Dan karena aksiden dapat diperberui dalam artian terus-menerusmengalami perkembangan dan keberlanjutan, maka pastilah memiliki substansi yangjuga mengalami perubahan (pergerakan). Jika tidak, maka perkembangan padaaksiden tidak dapat diperbarui yang artinya statis, sebab ia mengikuti watakatau keadaan dari substansi sebagai wadah kebergantungannya. Dengan begitu,gerak perubahan (kebaruan dan kepunahan) mengalir secara bertahap mengikutiarah gerak substansial.

Kembali pada tasykik alwujud, yang mengatakan kesatuan dan keberagaman kembali kepada wujud;wujudlah yang memberi keragaman dan wujud pula yang memberi kesamaan (meliputikeragaman itu) maka kesamaan itu sendiri dipengaruhi oleh wujud. Muncul satupertanyaan, apakah wujud murni pun mengalami perubahan? Tidak. Sebab perubahanatau gerak mengindikasikan ketidak sempurnaan dan itu bertentangan dengankesempurnaan wujud. Artinya, wujud sendiri tidak mengalami perubahan, namun iamemberi bentuk-bentuk pada materi sebagai penampakannnya yang dikenaiperubahan. Dengan gerak substansial yang mengalir secara bertahap (gradual),terjadilah proses kebaruan alam dari potensial menuju aktualitas. Denga katalain, kemunculan eksistensi baru di alam merupakan akhir bagi yang lain yangterjelaskan oleh gerak yang mengalir secara berangsur-angsur melewatititik-titik kehidupan, dari satu keadaan ke keadaan yang lain.  Pada akhirnya, dapat dikata bahwa segalapenampakan di alam ini bukanlah diri-Nya, dan dirinya bukanlah yang nampak itu.Akan tetapi, diri-Nya tak terpisahkan dengan penampakkan tersebut, sebabpenampakkan itu sediri adalah fakir wujud, yang artinya, kehadirannya adalah hubunganitu sendiri. 

Keniscayaan Gerak
Perubahan-perubahan di alam ini tak terhindarkan,dan hal ini dapat dibuktikan secara ilmihah bahwa perubahan adalah fenomenaalam yang tidak bisa ditahan atau dihentikan oleh manusia, sebab pada dirinyasendiri mengalami perubahan. Telah diketahui bahwa gerak terjadi secarabertahap mengikuti perubahan pada substansi, dan juga dipahami bahwa selainwujud yang murni (mutlak) adalah penampakan atau bayang-bayang yangmenceritakan tentang wujud Yang Maha Sempurna. Juga, pada penampakan tidakselalu sama intensitasnya, yang artinya penampakan itu mengalami gradasi bagaipancaran cahaya kehiupan. Jika ia mendekat pada sumber cahaya, maka intensitasnyasemakin tinggi. Namun sekiranya ia sampai pada sumber cahaya tersebut, maka iamelebur didalamm-Nya.

Gerak maujud yaitu memenuhi aktualitas dirinya, daripotensial menuju aktualitas dan begitu pun sebaliknya, keaktualannya mengandungpotensi untuk mengaktual sebagai wujud baru yang merupakan kesempunaan dariwujud sebelumnya. Artinya, aktualitas yang pertama, adalah akhir dari potensipertama, dan pada dirinya mengandung pontensi untuk mengaktul pada tahapberikutnya sebagai akhir dari wujud yang sekarang, dan terus menerus sebagaipenampakkan dari wujud mutlak tak berbatas. Dengan begitu, kebaruan aksidenyang mengikuti gerak substansial adalah suatu hal yang niscaya, sebagaimanakeniscayaan penampakkan wujud mutlak.

Gerak Sebagai Basis Kesempurnaan(Aktualitas Diri)
Keberadaan makhluk (ciptan;penampakan;menifestasiwujud mutlak) karna ia dapat berubah atau bertransformasi dari satu keadaan kekeadaan yang lain, maka tentu pada keaadaan aktualnya mengandung potensi yangtak terbatas – seperti penjelasan di atas. Gagasan tentang bayang-bayang yangdinisbahkan kepada alam materi pun salah satunya disebabkan penerimaan gerak.Mengapa gerak menjadi salah satu sebab penerimaan bayang-bayang atau ketiadaan?Sebab penerimaan sebab tersebut adalah gerak perubahan atau pembaruan hanyadapat terjadi jika memiliki potensi untuk berubah dan diperbarui. Sekiranya iatidak memiliki potensi untuk itu, mustahil ia menerima pembaruan itu.Selanjutnya, potensi bukanlah suatu hal yang actual melainkan ia adalah kemungkinanyang ada hanya sebagai kemungkinan, dan bukan sebalinya. Karenan kemungkinanbukan lawan dari tiada (kemustahilan) dan juga bukan lawan dari yang ada(Keniscayaan), dan juga tidak dapat dikatakan ada, maka dapat dipahami,penampakan itu pada hakikatnya adalah sekumpulan potensi-potensi yang siapmengaktual atas kehendak yang mutlak. Kehendak itulah yang memberinya wujudkarna pada dirinya –kemungkinan – tidak memiliki apa-apa melainkankebergantungan (hubungannya) adalah wujudnya.

Mejadi jelas – paling tidak telah mendapatpenjelasan – terhadap kefakiran yang nampak itu yang kehadirannya adalahaktualitas dari potensial yang juga memiliki sejuta potensi, makakesempuranannya adalak aktualnya potensi-potensi pada dirinya tersebut. Kesimpulannya,gerak mejadi basis dari kesempurnaan makhluk dan kesempurnaan gerak adalahpenciptaan (penampakan) wujud mutlak. Dari sini terlihatlah Kesempurnaan ituhanya dimiliki oleh Wujud Niscaya, begiut pula, karna kesempurnaanmakhluk adalah aktualitas potensi yang ia miliki, maka dalam upaya dan prosesmenyempurna ia menuju pada satu titik, satu tujuan, yaitu Yang MemilikiKesempurnann agar dapat disebut menyempurna[18].Mengapa? Karena selainnya adalah kekurangan nyata dan ketidakpunyaan, sehinggamustahil yang selainnya dapat memberi kesempurnaan itu. Mungkin keadaan iniyang dimaksud Ayatullah Shadr  terkaitdengan salah satu Ayat Suci al-Qur’an[19] bahwa“…umat manusia berusaha dengan sekuat tenaga di setiap tingkatan untuk menujukepada Tuhannya.”[20] Akantetapi beliau pun menyampaikan, bahwa ayat ini tidak memaksa atau memerintahkanmanusia untuk mengambil tindakan mengikuti jalan Tuhannya, melainkan “…iamenyebutkan suatu kenyataan factual bahwa setiap gerakan manusia dalamperjalanan sejarahnya yang panjang, adalah menuju Allah.”[21] Ituberarti, setiap gerakan yang terjadi semua menuju kepada satu tujuan sebagaicita-cita yang tinggi dan tak berbatas, Tuhan, Penguasa Semesta Alam.

Perlu disampaikan juga bahwa tidak semua perubahandikatakan menuju kesempurnaan, meskipun secaya ontologism, semua menuju kepadaTuhan Yang Mahasempurna. Hal ini terkait secara Aksiologis, yangberlangsung  di alam dan relevan dengankeadilan Tuhan. Gerakan maju  yang dikatakankesempurnaan (al-takamul) adalah “melangkah pada satu jalan menuju kesempuranaan,dan beralih dari satu tahapan menuju tahapan lain, dari satu tingkatan menujutingkat berikutnya.”[22]Artinya, gerak perubahan tersebut harus berjalan pada satu jalan yangkualitasnya semakin bertambah dan bukan berjalan pada garis yang berbeda-beda.Misalnya, kesmepurnaan dalam bidang pendidikan yaitu, yang dulunya hanya 10%masyarakat yang dapat membaca, pada saat sekarang terdapat 45% persen dan jugaterdapat bidang lain yang sebelumnya belum ada yang sejalan dengan perkembangandan kebutuhan masyarakat. Jika tidak demikian, adanya bidang tertentu danmenghilangkan yang lain yang mensejahterakan masyarakat (masalah apa yangmenjadi kebutuhan adalah masalah lain), maka tidak dapat dikatakankesmepurnaan. Olehnya itu, perubahan yang dikatakan menyempurna harus memilikiukuran atau tolak ukur. “Karena itu, takamul tidak berarti berubahbegitu saja… dan tolak ukur tersebut yaitu, …jarak (menurut istilah parafilusuf) mesti menyatu dengan gerak. …Jika jarak suatu gerak berbeda-beda, makadisitu pasti terdapat lebih dari satu gerak. Dan gerak menuju kesempuranaan,jaraknya harus hanya satu.”[23]

Gerak yang berovolusi menuju ke nonmateri (jiwamengaktual) sebagai suatu kualitas makhluk hidup. Gerak yang tak terbatasmenuju cita-cita yang sejati. Kesadaran pada makhluk, yang merupakan akibatdari yang sadar dan mengetahui segala sesuatu harus diterima karena itu sejalandengan sebabnya. Pada saat ini, kita katakan (sebagai hipotesis) –dengan bersandar pada hukum keselarasan tersebut – setiap yang ada di alam inimemiliki jiwa dan kesadaran serta kesempurnaan (pada dirinya), sesuai tingkatperwujudannya masing-masing. allah a’lam.

Kesimpulan                 
Rasanyaingin mengemukakan kesimpulan yang panjang, namun karena itu hanyalah rasa danrasa tak bisa kami jadikan criteria, maka disini hanya dibeberkan berapa katasaja sebagai kesimpulan dari pembahasan sebelumnya atas dasar, yang mengikutitulisan ini memiliki pemahan sesuai kapasitasnya yang bisa dijadikannyakesimpulan juga.

Kesimpulankami bahwa, keniscayaan wujud, meniscayakan penampakkan dirinya atau,keberadaan pencipta dengan sendirinya meniscayakan adanya ciptaan. Dan karenakehadiran ciptaan ini bukan dri-Nya melainkan manifestasi, maka ketidaksempurnaan makhluk dalam hubungannya dengan wujud mutlak adalah pasti.Dengan demikian, gerak maju mendekati sumber wujudnya menjadi langkah menujukesempurnaannya. Kemudian, sebab setiap gerak menuju satu titik, maka gerakadalah basis aktualisasi diri dan niscaya adanya. Maka manusia, haiwanunnatiq, yang memiliki potensi untuk berevolusi tak mungkin lepas denganpersepsi. Dengan persepsi, potensi menjadi aktual secara teoritis dan secaratindakan, yaitu persepsi menjadi wujud yang tak terpisah dengan dirinya. Jikaia  bersama wujud, maka berbuatannya akanbesesuaian dengan wujud sehingga evolusi diri tersebut akan menjadi basis bagievolusi masyarakat yang sadar terhadap cita-citanya yang tinggi. Sekian,wasslam….

SekilasBahanBacaan(SBB):                                                         
JurnalMulla Shadra Vol.2., dan 4. RausyanFikr Institute
Jurnalal-Huda
M.Baqir Shadr. Falsafatuna. TerbitanRausyanFikr Institute
MurtadhaMuthahhari. Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi dan Jati DiriManusia. Penerbit Lentera
Mustaminal Mundiri (ed.). Menuju Kesempurnaan: Persepsi dalamPemikiran Mulla Shadra. Penerbit, Safina
MuhsinLabib. Para Filosof. Penerbit,Al-Huda
M.Baqir Shadr. Paradigma dan KecenderunganSejarah dalam al-Qur’an. Penerbit, Shadra Press
MurtadhaMuthahhari. Manusia Sempurna.Penerbit, RausyanFikr Institute
M.T.Misbah Yazdi. Jagad Diri. Penerbit,Al-Huda

[1] 384-322 SM,seorang filusuf Yunani, yang dikenal sebagai orang yang pertama kali merumuskanIlmu Logika
[2] Abu YusufYa’qub bin Ishaq bin Sabab bin Imran bin Isma’il bin Muhammad al-Ash bin Qaisal Kindi, lahir di Kufah, Irah pada 185 H (801 M). ia adalah seorang ilmuanIslam yang memiliki karya-karya seperti logika, filsafat dan Kedokteran setailmu-ilmu lainnya.
[3] Abu NashrMuhammad al-Farabi, lahir di Wasij,suatu desa di Farab (Transoksania), Khorasan, pada 257 H (870 M). ada yangmengatakan ia berasal dari Turki.
[4] Aviciena(980-1037)  adalah filusuf dan ahli dalambidang kedokteran Muslim yang cukup terkenal di dunia Timur maupun barat dengantokoh Peripatetik. Nama aslinya, Abu Ali al Husain ibn Abdullah ibn Sina.Dilahirkan pada 980 disebuah desa bernama Afshanahdekat Bukhara yang saat ini terletakdi pinggiran Rusia.
[5] Ibn ‘Arabi(abad ke 7 Hijriyah), adalah seorang irfan yang terkenal. Mulla Shadra sendirimenjadikan karyanya sebagai bahan rujukan diantara yang lain.
[6] Musa Kazim. Tafsir Sufi, hal.23
[7] Ibid., hal.25
[8] Ibid.,
[9] M. Nur. Wahdah al-Wujud ibn ‘Arabi & FilsafatWujud Mulla Shadra, hlm.26
[10] Disini, kitatak harus menjelaskan secara mendetail dan memaparkan argumen dari pahamkemendasaran wujud, sebab tujuan kami hanya memperlihatkan kemendasaran inisecukupnya demi pemanfaatan penjelasan berikutnya. Ada pun buku yang membahastentang hal ini, dapat merujuk pada M.T. Misbah Yasdi. Buku Daras Filsafat Isalam., Aayatullah Muthahhari. Filsafat Hikmah., Muhammad Nur. Wahdah al-Wujud ibn ‘Arabi & FilsafatWujud Mulla Shadra., Musa Kazim. TafsirSufi dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan pada kesempatan ini.
[11] Fazlur Rahman.Filsafat Shadra. hlm.53
[12] Lihat Mustaminal Mandiri (ed.). Menuju Kesempurnaan. hlm.189
[13] Ibid.,
[14] Artikel. ApaGerakan Substansial (al Harakah al Jauhariyyah) itu dan Bagaimana PeranannyaDalam Kehidupan Manusia?.
[15] Ibid.,
[16] . cit.,hal.191
[17] Lihat,M. Baqir Shadr.  Falsafatuna. Hl.191
[18] Sempurnaadalah pendakian vertikal menuju tingkat tertinggi yang mungkin. Kesmpurnaanartinya mampu ngembangkan seluruh potensi yang dimilikinya secara seimbang danproporsional. Perlu diketahui, istilah sempurna tidak ada dalam literatur Islamsampai abad ke-7 Hijriah. Yang pertama kali menggunakan istilah ini disuniaIslam yaitu, sufi (‘arif) mashur Muhyiddin ibn ‘Arabi al-Andalusi al-tha’I (w.1240). Ia seorang bapak ‘rfan (tasawuf) Islam. Untuk lebih jelasnya, merujuk keMuthahhari. Manusia Sempurna dan Manusia Seutuhnya.
[19] Haimanusia, sesunggunnya kamu semua sedang bekerja dengan sungguh-sungguh menujuTuhanmu, maka pasti kamu akan menemuinya”, (QS. 84:6)
[20] M. Baqir Shadr.Paradigma dan Kecenderungan Sejarah dalam Al-Qur’an. hlm.191
[21]Ibid.,
[22] AyatullahMuthahhari. Fitrah. Hlm. 125
[23] Ibid.,