Minggu, 15 September 2013

ANTARA KEYAKINAN DAN KEINGINTAHUAN


Dalam Filsafat Islam, terdapat suatu pembagian ilmu menjadi husuli dan khuduri. Ilmu husuli (al ‘ilm al husuli) merupakan ilmu gambaran (representasional) yang diperoleh melalui sebuah upaya penguraian subjek terhadap hal tertentu, misalnya, pengetahan kita terhadap putihnya kain. Putih pada kain merupakan sebuah gambaran (konsep) yang diperoleh dari hubungan subjek terhadap objek pengetahuan (kain tertentu yang berwarna putih) yang melewati suatu pnguraian (klasifikasi dan semacamnya). Sedangkan ilmu khuduri (al ‘ilm al khuduri) yaitu presentasional, hadir secara langsung sehingga ia bersifat sederhana dan tampa penguraian. Misalnya, rasa takut. Kita dapat bedakan kondisi ini menjadi Perasaan takut dan takut sebagai gambaran dari suatu keadaan yang melibatkan suatu hubungan. Yang pertama adalah hadirnya suatu keadaan yang sederhana dan secara langsung, sedangkan yang kedua memerlukan penguraian atau respon terhadap kondisi pertama dalam hubungannya ke alam eksternal.
Terhadap kebenarannya, khuduri adalah sautu kepastian, sebab tak melalui perantara; yang merasakan, perasaan dan apa yang dirasa adalah satu dan bukan yang lain melainkan pada subjek. Lain halnya dengan perantara yang merupakan suatu gambaran (husuli). Sebab ia adalah gambaran maka ada yang digambarkan. Gambaran sesuatu dan sesuatu itu memiliki kemungkinan berbeda. Sebab demikian maka terdapat suatu hubungan, yaitu yang memiliki gambaran dan yang digambarkan dan antara gambaran dan yang digambarkan. Hubungan ini adalah hubungan subjek-objek, yaitu gambaran subjek terhadap yang diketahui (objek).
Persoalan kita adalah, apakah setiap yang kita rasakan adalah  baik dan benar seperti apa yang diharapkan? Misalnya, saat berjumpa dengan lawan jenis, hadir perasaan tertentu sehingga kita ingin memilikinya. Apakah benar apa yang kita rasakan sesuai dengan criteria yang dibangun? Untuk menjawab persoalan ini maka seseorang butuh penguraian terhadap objek yang menstimulasinya sehingga hadir perasaan tersebut. Proses ini merupakan hubungan antara subjek dengan objek tertentu agar memperoleh beberapa gambaran sebagai bahan pertimbangan. Olehnya itu, perasaan-perasaan yang hadir yang menumbuhkan sebuah keyakinan haruslah dihusulikan jika peraan tersebut menyangkut hal-hal diluar diri kita agar terhindar dari perasaan yang menjadikan kita berangan, namun tak tahu seperti apakah objek yang dirasakan dan diangankan, dan benarkah yang diyakini adalah benar-benar yang seharusnya. Relevan dengan pembahasan, maka seandainya Tuhan bukanlah diri kita dan berada di luar diri kita sebagai realitas objektif, maka tidak cukup dengan merasakan melainkan mampu diuarai agar mengetahui, manakah Tuhan yang sebenarnya, agar menjadi pasti keyakinan kita dengan yang seharusnya diyakini. Jika menjadi jelas, maka bertemulah antara pikiran dan perasaan dalam sebuah keyakinan. Jika telah sejalan, maka perbuatan pun akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang diyakini. Mengapa? Sebab kebelokan dari arah yang sebenarnya adalah pertentangan antara yang dirasakan dan apa yang dipikirkan. Perasaan mengatakan A, namun pikiran kita berkata B.
Oleh sebab itu, perasaan harus diurai agar memiliki alasan yang logis. Tak asal merasakan, apakah benci atau senang, alasannya harus jelas bagi kita. (Minggu, September 15 2013--Makassar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar