Dalam
Filsafat Islam, terdapat suatu pembagian ilmu menjadi husuli dan khuduri. Ilmu husuli (al ‘ilm al husuli) merupakan ilmu gambaran (representasional) yang
diperoleh melalui sebuah upaya penguraian subjek terhadap hal tertentu, misalnya,
pengetahan kita terhadap putihnya kain. Putih pada kain merupakan sebuah
gambaran (konsep) yang diperoleh dari hubungan subjek terhadap objek pengetahuan
(kain tertentu yang berwarna putih) yang melewati suatu pnguraian (klasifikasi
dan semacamnya). Sedangkan ilmu khuduri
(al ‘ilm al khuduri) yaitu
presentasional, hadir secara langsung sehingga ia bersifat sederhana dan tampa
penguraian. Misalnya, rasa takut. Kita dapat bedakan kondisi ini menjadi Perasaan takut dan takut sebagai gambaran dari suatu keadaan yang melibatkan suatu
hubungan. Yang pertama adalah hadirnya suatu keadaan yang sederhana dan secara
langsung, sedangkan yang kedua memerlukan penguraian atau respon terhadap
kondisi pertama dalam hubungannya ke alam eksternal.
Terhadap
kebenarannya, khuduri adalah sautu
kepastian, sebab tak melalui perantara; yang merasakan, perasaan dan apa yang
dirasa adalah satu dan bukan yang lain melainkan pada subjek. Lain halnya
dengan perantara yang merupakan suatu gambaran (husuli). Sebab ia adalah gambaran maka ada yang digambarkan.
Gambaran sesuatu dan sesuatu itu memiliki kemungkinan berbeda. Sebab demikian
maka terdapat suatu hubungan, yaitu yang memiliki gambaran dan yang digambarkan
dan antara gambaran dan yang digambarkan. Hubungan ini adalah hubungan
subjek-objek, yaitu gambaran subjek terhadap yang diketahui (objek).
Persoalan
kita adalah, apakah setiap yang kita rasakan adalah baik dan benar seperti apa yang diharapkan?
Misalnya, saat berjumpa dengan lawan jenis, hadir perasaan tertentu sehingga
kita ingin memilikinya. Apakah benar apa yang kita rasakan sesuai dengan
criteria yang dibangun? Untuk menjawab persoalan ini maka seseorang butuh
penguraian terhadap objek yang menstimulasinya sehingga hadir perasaan
tersebut. Proses ini merupakan hubungan antara subjek dengan objek tertentu
agar memperoleh beberapa gambaran sebagai bahan pertimbangan. Olehnya itu,
perasaan-perasaan yang hadir yang menumbuhkan sebuah keyakinan haruslah
dihusulikan jika peraan tersebut menyangkut hal-hal diluar diri kita agar
terhindar dari perasaan yang menjadikan kita berangan, namun tak tahu seperti
apakah objek yang dirasakan dan diangankan, dan benarkah yang diyakini adalah
benar-benar yang seharusnya. Relevan dengan pembahasan, maka seandainya Tuhan
bukanlah diri kita dan berada di luar diri kita sebagai realitas objektif, maka
tidak cukup dengan merasakan melainkan mampu diuarai agar mengetahui, manakah
Tuhan yang sebenarnya, agar menjadi pasti keyakinan kita dengan yang seharusnya
diyakini. Jika menjadi jelas, maka bertemulah antara pikiran dan perasaan dalam
sebuah keyakinan. Jika telah sejalan, maka perbuatan pun akan berjalan dengan
baik dan sesuai dengan yang diyakini. Mengapa? Sebab kebelokan dari arah yang
sebenarnya adalah pertentangan antara yang dirasakan dan apa yang dipikirkan.
Perasaan mengatakan A, namun pikiran kita berkata B.
Oleh
sebab itu, perasaan harus diurai agar memiliki alasan yang logis. Tak asal
merasakan, apakah benci atau senang, alasannya harus jelas bagi kita. (Minggu, September 15 2013--Makassar).