Sabtu, 10 Agustus 2013

Dinamika Kelompok

Assalam…,  kali ini, kami akan bercerita mengenai Dinamika Kelompok. Ingat, pembahasan ini merupakan salah satu tema pada studi Ilmu Komunikasi. Biasanya, terkait dengan mata kuliah Psikologi Sosial. Bagi teman yang punya tugas dan relevan dengan pembahasan neh, ana sarankan antum untuk ngutip aja. Ana juga ngase referensinya. Seperti apa pebahasannya, monggo dibaca…!!!

Prolog
Masyarakat, begitulah kita sebut untuk menggambarkan makhluk sosial. Dimana terdapat istilah masyarakat maka disitu terdapat sekelompok individu yang mendiami suatu tempat yang saling berinteraksi, dengan tujuan dan norma tertentu. Interaksi yang terjadi saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain, mengalami pergolakan, pertentangan, keselarasan yang mewarnai kehidupan bermasyarakat. Kelompok ini tak hanya satu macam, melainkan bermacam-macam. Berabagai macam kelompok ini kerap terbentuk dari pandangan yang sama  dan cita-cita atau tujuan yang sama dan memutuskan untuk melalui jalan yang satu. Pandangan yang ada pada satu kelompok yang memiliki perbedaan yang dengannya menjadi pedoman bertindaknya suatu kelompok sering membawa pada benturan antar kelompok masyarakat. Namun, pada kesempatan ini kami tidak memfokuskan pembahasan pada ideologi kelompok melainkan pola interaksi dan variable-variabel yang menekan serta peran keanggotaan kelompok itu sendiri dalam hubungannya dengan struktur kelompok.
Dinamika. Apakah yang dimaksud dengan dinamika, dan seperti apakah dimanika kelompok? Apakah dinamika adalah bagian yang tak terpisahkan dari kelompok? Dengan kata lain, apakah interaksi kelompok dan antar kelompok dalam mencapai tujuannya adalah keadaan dinamika itu sendiri? Lalu bagaimana menyikapi situasi tersebut, memahami faktor yang mempengaruhinya serta pola-pola interaksi dalam kelompok itu sendiri? Pertanyaan ini merupakan masalah yang perlu kami jawab, dengan tujuan mendapatkan pahaman yang memadai terhadap kelompok dan dinamika kelompok, serta bagaimana menyikapi dinamika yang ada demi meningkatkan hubungan kelompok yang lebih baik.
Pembahasan dinamika kelompok, memaksa kita untuk sesekali memalingkan wajah kita untuk melihat pembahasan-pemabahasan yang telah lalu, sebab ia mempunyai keterkaitan, bagaikan sebuah buku yang mempunyai lembaran awal dan akhir, dan dinamika kelompok adalah halaman tengahnya. Kami mulai dengan definisi.

Kajian Pustaka
Pengertian
Dinamika kelompok, pada ilmu komunikasi ia termasuk dalam pemabahasan “komunikasi kelompok,[1] sedangkan pada salah satu buku psikologi social termasuk dalam pembahasan “situasi kelompok” (social).[2] Pada buku lain, ia terdapat pada tema pembahasan “kelompok-kelompok.”[3] Keragaman tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang sama, yaitu “kelompok.” Seperti biasanya, pengertian adalah penting untuk disebutkan guna memperjelas apa yang sedang dibicarakan
Floyd D. Ruch (1958) merumuskan sebagai berikut: “Dinamika kelompok adalah analisis dari hubungan-hubungan kelompok social yang berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku dalam kelompok adalah hasil dari interaksi yang dinamis antara individu-individu dalam situasi social.”[4] Di sisi lain jika dicermati apa yang dilukiskan Tubbs dan Moss, pada bagian ini kita akan mempelajari “bagaimana orang-orang berperilaku dalam kelompok…”[5] Dari sudut interaksi maupun peran yang dimainkan kelompok atau perkembangan kelompok itu sendiri, dalam mencapai tujuan merupakan dinamika. Pada kesempatan ini kami ingin memulainya dengan konfromitas.
Konformitas
Di kelas, kita melihat orang-orang berpendapat mengenai pelajaran yang disampaikan dosen. Ada yang bertanya, mengemukakan pendapatnya. Namun disisi lain, ada orang-orang yang langsung menerima apa yang disampaikan. Ada pula yang memiliki pendapat tetapi tidak berani untuk mengemukakannya.
Pada situasi kelompok, kita sering tertekan dengan keputusan yang diambil sebagai keputusan kelompok. Selain itu, norma kelompok pun menjadi salah satu faktor penekan anggota-anggotanya. Seringkali oraganisasi atau suatu komunitas berupaya untuk melakukan perilaku yang memaksa anggotanya atau orang lain agar sependapat dengan kelompok. Jika orang berperilaku tertentu karena orang lain berperilaku demikian, dengan kata lain ia membuat keputusan seperti yang dibuat oleh kebanyakan orang, kita sebut itu sebagai konformitas.
Dalam sebuah penelitian klasik yang dilakukan Sherif (1935),[6] mahasiswa dibawa kedalam ruangan gelap dan diarahkan untuk melihat satu titik cahaya dan dikatakan bahwa cahaya tersebut bergerak. Mahasiswa diminta untuk mengamati dan menentukan pergeseran yang terjadi pada cahaya. Sherif mengambil manfaat pada percobaan ini dari sebuah ilusi perceptual yang disebut dengan gejala otokinetis, dimana suatu titik cahaya yang terlihat dari kegelapan seakan bergerak walaupun sebenarnya tidak bergerak. Dari hasil pengamatan, subjek memberi jawaban sesuai apa yang disaksikan, ada yang mengatakan perpindahan cahaya 1 atau 2 inci, ada yang mengatakan pergeseran mencapai 80 kaki.
Pada percobaan berikutnya, seseorang diminta untuk mengamati perpindahan cahaya tersebut (sebenarnya ia adalah rekan peneliti yang telah diatur sebelumnya sesuai dengan rencana peneliti), dan ia menyampaikan perpindahan hanya mencapai 2 inci, begitu seterusnya ia menyampaikan jawaban yang selalu sama dan penuh keyakinan. Subjek yang tadinya memiliki jawaban yang jauh berbeda mulai menyesuaikan jawabannya, pada kesempatan diulangi pengamatan hingga mendekati jawaban rekan peneliti. Mereka menjadikan jawaban itu seabagai acuan, padahal meraka sama tidak memiliki alasan yang kuat sebagai landasan penilaian, namun rekan peneliti begitu yakin dengan jawaban yang ia berikan. Pada situasi seperti ini, orang berpikir bahwa tingkat persepsi setiap orang berbeda-beda, dan bisa jadi orang lain memiliki keunggulan dalam hal tertentu, dan ia lemah pada hal yang sama.[7]
Pada kesempatan lain, Solmon Asch (1951)[8] melakukan penelitian terhadap masalah yang sama, ia pun mendapatkan penilain subjek mengikuti subjek yang lain meskipun subjek mengetahui bahwa penilaian itu salah. Subjek berusaha menyesuaikan penilaiannya dengan rekan-rekannya.
Mengapa orang menyesuaikan diri? Sears, Freedman & Peplau (1985) menyebutkan “pada dasarnya orang menyesuaikan diri karena dua alasan utama. Pertama, perilaku orang lain memberikan informasi yang bermanfaat.” “Kedua, kita menyesuaikan diri karena ingin diterima secara sosial dan menghindari celaan.[9] Tentu, ini merupakan faktor yang mendorong untuk menyesuaikan diri (konformitas).
Kurangnnya informasi membuat seseorang ragu untuk mengambil keputusan, dan langkah mudah adalah mengikuti orang lain dan/ atau kelompok yang dianggap memiliki atau lebih banyak mengetahui. Ada beberapa variabel terkait faktor ini, yang dapat meningkatkan atau mengurangi tingkat konformitas. “Pertama. Kepercayaan terhadap kelompok dan Kedua, kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri.”[10] Untuk faktor yang kedua (rasa takut terhadap celaan social), memiliki variable yang dapat menigkatkan perilaku konformitas yaitu, “rasa takut terhadap penyimpangan” yang didalamnya memiliki beberapa variable diantaranya, “kekompakkan kelompok, kesepakatan kelompok, ukuran kelompok, keterikatan pada penilaian bebas, dan keterikatan terhadap nonkonformitas.”[11]
1.   Ketaatnn dan/ Kepatuhan
Mirip dengan konformitas, akan tetapi perilaku yang dilakukan karena ada tuntutan yang mengharuskan untuk melakukannya – meskipun sebenarnya tidak ingin melakukannya – dan ini lebih pada norma, kita katakan sebagai kepatuhan atau ketaatan. Ketaatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dan kuat lemahnya ketaatan tersebut, bergantung pada beberapa variabel sebagai faktor penguat dalam bertindak atau mengambil keputusan.
Dari sekian banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai masalah ini, menemukan keadaan yang menyebabkan orang lain mematuhi suatu perintah dan norma yang diberlakukan terhadap mereka. Diantara mereka yang melakukan penelitian yaitu Stanley Milgran (1963), beliau mendapatkan orang cenderung mematuhi orang yang memiliki otoritas yang sah. Ketaatan terhadap otoritas yang sah tersebut adalah sebagai bentuk pengakuan yang diberikan oleh subjek kepadanya. Ia akan merasa tertekan jika tidak mematuhi perintah atau permintaan  yang ditujukan sebagai suatu tanggung jawab. Bisa jadi, sebabnya yang diakui sebagai yang memiliki otoritas oleh karena ahli pada bidang tersebut, dan dapat dipercaya. Namun disamping itu, jika orang mengetahui ia bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dilakukannya, hal itu dapat menurunkan tingkat kepatuhan. Pernyataan ini didukung oleh eksperimen Tilker (1970). Disebutkan,
faktor yang paling penting dalam ketaatan adalah bahwa orang memiliki otoritas yang sah dalam situasi itu, sesuai dengan norma social yang berlaku. Yang dimaksud dengan legitimasi adalah keyakinan umum bahwa pihak otoritas mempunyai hak untuk menuntut ketaatan terhadap perintahnya.[12]
Faktor lain yang mentukan kepatuhan adalah ganjaran, hukuman, dan ancaman. Untuk memaksa orang lain melakukan suatu perbuatan, dapat berlakukan cara ini. Ganjaran dapat berupa bayaran, hadiah dan sanjungan atau cercaan yang dilakukan kelompok kepada anggotanya. Kasus yang menarik mengenai penggunaan ganjaran adalah apa yang disebut Hawthorne Effect. Istilah ini diambil dari eksperimen yang diadakan pada sebuah pabrik Hawthorne Western Electric Ompani oleh Homans, (1965). Pada eksperimen ini ditemukan peningkatan kinerja atau kepatuhan bisa dipengaruhi dengan perhatian. Perhatian peneliti terhadap subjek (manusia coba) dengan harapan hasil pekerjaan yang meningkat, akhirnya membawa hasil yang baik. Subjek merasa diperhatikan dan diperlakukan secara khusus sehingga dalam situasi apapun, mereka tetap fokus pada pekerjaan mereka.
Selain kedua yang telah disebutkan, “harapan orang lain” dan “batas tekanan eksteranal” adalah diantara variabel yang ikut menentukan kepatuhan. Dua diantaranya yang disebut terdahulu, subjek diminta untuk memberi uang sebagai suatu harapan dari orang lain yang mengharapkan hal tersebut secara terbuka, dan hasilnya subjek memberi uang cukup banyak. Hal ini dilaporkan White (1972).[13] Pada kesempatan lain, dalam penelitian yang dilakukan Kraut (1973), ia menemukan bahwa pemberian label dapat menciptakan kepatuhan (sebagai  bentuk ketaatan yang diperlihatkan). Misalnya, orang yang dikatakan jujur akan bertindak sesuai dengan label yang dilekatkan padanya; seseorang yang disebut sebagai baik, memiliki jiwa sosial yang tinggi akan melayani permintaan bantuan yang diajukan kepadanya (bisa jadi mau dibilang) – akan tetapi yang perlu diingat, tidak semua yang baik itu karena pelabelan. Hasil penelitian menunjukan perilaku yang tampak sesuai dengan lebel yang dinisbahkan kepada mereka. Untuk membuat orang lain menaati perintah, dapat juga digunakan teknik Foot-in-the-Door, teknik ini didukung oleh eksperimen Freedman dan Fraser (1966).[14] Untuk faktor yang belakangan dari dua yang disebut terakhir (batas tekanan eksternal), dari mereka yang melakukan eksperimen melaporkan bahwa faktor eksternal berupa tekanan tidak selamanya membawa hasil yang positif terhadap ketaatan. Tekanan yang berlebihan dapat dianggap sebagai serangan dari luar yang berusaha merebut kebebasan, sehingga yang terjadi adalah sebaliknya, orang melakukan perlawanan terhadap situasi seperti itu. Brehm dan Sensenig (1966) menemukan perilaku tersebut dalam percobaanya.
Perilaku dalam Kelompok
1.     Ciri Dasr
Disini kita akan menjelaskan, membatasi ruang lingkupnya agar apa yang dimaksud dengan kelompok menjadi jelas, baik penggunaan secara umum dan mendasar maupun secara teknis dalam ilmu soaial.
McGrath, mengatakan “kita melewatkan waktu melalui beragan agregat sosial, yang merupakan istilah umum untuk sekelompok orang”[15] kita akan melihat beberapa contoh agregat sebagai berikut:
Agregat statistik: untuk tujuan penelitian, kadang-kadang diperlukan pengelompokan untuk menganalisis seluruh anggota atau kategori sosial tertentu, seperti semua yang berambut pirang, semua wanita, semua kepala rumah tangga yang tidak bekerja, atau semua orang yang berusia di atas 65 tahun.
Semua anggota agregat statistik memiliki karekteristik umum, meskipun mereka tidak saling mengenal atau berinteraksi.

Audiens:semua orang yang mendengarkan siaran berita pukul 06.30 di saluran 6 Jakarta dan sekitarnya adalah bagian dari kelompok hadirin yang sama, meskipun mereka tidak saling mengetahui dan tidak berinteraksi.
Kerumunan (crowd): sekelompok orang yang berada dalam kedekatan fisik dan bereaksi terhadap stimulus atau situasi umum disebut kerumunan.
Tim: sekelompok orang yang secara teratur berinteraksi dalam kaitannya dengan aktivitas atau tujuan tertentu, seperti kelompok kerja, tim olahraga…
Keluarga: sekalipun jenisnya banyak, pada hakikatnya keluarga terbentuk dari sekelompok orang yang diikat oleh hubungan kelahiran atau aturan hukum dan biasanya tinggal bersama di sautu tempat.
Organisasi formal: merupakan agregat yang lebih besar dari orang-orang yang sering bekerja bersama-sama dengan cara yang terstruktur jelas dalam usaha mencapai tujuan bersama.
Dalam kehidupan sehari-hari beberapa poin yang telah kami jabarkan disebut kelompok. Namun, terdapat perbedaan dengan penggunaan istilah kelompok menurut para ilmuan sosial, yang mengkhususkan dan bermakna lebih tekhnis. “Didefinisikan kelompok adalah agregat sosial dimana anggota-anggota yang saling bergantung, dan setidak-tidaknya memiliki potensi untuk melakukan interaksi satu sama lain.”[16] Olehnya itu, kelompok mempunyai ciri khusus (perspektif ilmuan sosial) dan keragaman. Keragaman tersebut misalnya, ukuran, lamanya, nilai-nilai dan tujuan serta ruang lingkup. Kelompok yang terkecil dalam lingkungan sosial yaitu diad, pasangan yang menjalin hubungan interpersonal. Peran sosial sebagai sesuatu yang terstruktur, dapat disebut sebagai sebuah hirarki peranan. Dalam suatu hubungan kelompok, kekompakan merupakan salah satu ciri yang menetukan kelanggengan suatu kelompok.
2.     Ukuran Kelompok, Jaringan Komunikasi (communication network), kohesi kelompok dan kepemimpinan sebagai faktor situasional
Ukuran kelompok ikut berperan dalam suatu hubungan kelompok. Besar kecilnya ukuran kelompok dalam keefektifan bergantung dari jenis persoalan yang akan dipecahkan. Tugas yang dilakukan suatu kelompok dapat diklasifikasikan menjadi dua: tugas Koaktif dan tugas Interaktif.[17] tugas koaktif, anggota bekerja secara sejajar namun tidak membangun sisten komunikasi yang terorganisir, sedangkan interaktif, interaksi yang terjadi berlangsung secara terorganisir. Yang lain adalah tujuan. Tujuan yang hendak dicapai ikut mempengaruhi ukuran kelompok. Selain itu, manajemen pun menjadi variabel yang perlu diperhatikan.Townsend (1985)[18] memerikan tiga jenis manajeman hasil analisisnya, seperti berikut:
                                                                                           


 












Gambar 2.1., Bagan Manajemen
Dari bagan atau struktur di atas, ada jenis manajemen yang tidak efektif jika digunakan dalam sautu kelompok. Kelemahan ini akan mengurangi kefektifan anggota.
Tak penting besar atau kecil, pada suatu kelompok dengan jenis manajemen tertentu memiliki jaringan komunikasi sebagaimana yang kami kutip dari Rakhmat (2009),[19] yang dapat digunakan dalam berinteraksi. Pada kelima jaringan komunikasi ini memiliki ciri khusus dan keefektifan yang berbeda-beda.
 


Disamping jaringan komunikasi sebagai faktor situasional dalam kelompok, kohesi, dan kepemimpinan adalah faktor lain. Kohesi dapat diartikan sebagai upaya mendahulukan orang lain dari diri sendiri, sirnanya egoisme. Sedangkan kepemimpinan sebagai kekuasaan dan tanggung jawab yang dibebankan kepada seseorang dan bertanggungjawab menjalankan kelompok kearah yang dituju dan memberdayakan anggota-anggotanya (Disini kami tidak membahas kepemimpinan secara panjang, sebab ia memiliki pembahasan tesendiri).
3.     Karakteristik Anggota Kelompok sebagai Faktor Personal
Suku, agama, umur, jenis pekerjaan, pendidikan dapat menjadi kriteria personal kelompok sebagi keprbadian yang mempengaruhi kelompok. Keterbukaan, kepercayaan dan empati adalah bagian dari variabel yang mempengaruhi kegiatan kelopok.
Kebutuhan untuk memasuki suau kelompok, tak lepas dari kebutuhan interpersonal. Seseorang yang bergabung pada kelompok tertentu, bisa jadi karna ia ingin tergabung menjadi anggota, terlibat dalam kegiatan yang dilakukan, mengontrol oranglain dan/ masuk untuk memperoleh keakraban, dan terlibat secara emosional. Orang-orang yang terlibat di dalam, seperti yang kami sampaikan terdahulu, berinteraksi antar satu dengan yang lain dengan jenis jaringan komunikasi tertentu.
Pada jaringan komunikasi, terdapat tindak komunikasi yang dilakukan anggota kelmpok.  Tindak komunikasi dapat dipelajari melalui rumusan kategori yang dibuat oleh Robert E. Bales (1950,1955, 1970) dari Univrsitas Harvard,[20] dengan istilah API (Analisis Proses Interaksi/Interaction Process Analisys) kemudian diadaptasi Tubbs (1992)[21] dari Bene dan Sheats (1948) sebagai berikut:
 

4.    Tahap pengembangan  Kelompok
Kategori yang kami sabutkan merupakan penjelasan terhadap peran keanggotaan yang berlangsung dalam suatu kelompok, yang bisa saja terjadi pada kategori A, B, C atau D. Untuk melengkapi penjelasan, kami perlu menyebutkan tahap-tahap pengembangan kelompok. Tahap yang pertama yaitu tahap pembentukan. Tahap ini sebagi pertemuan atau pekenalan. Tubbs dan Moss mengatakan sebenarnya dimulai sebelum berkenalan. Pernyataan ini sepertinya mengacu pada komunikasi intrapersonal. Pada tahap kedua adalah tahap keributan, kemudian tahap penormalan  dan kemudian tahap pelaksanaan[22] serta yang terakhir adalah tahap pemutusan.[23]
5.   Surat Produktifitas Kelompok Kecil
Para peneliti di bidang dinamika kelompok berpendapat bahwa, “kerja sama antar individu yang baik dalam suatu kelompok demokratis tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi harus dipelajari orang.”[24] dari hasil penelitin yang mereka lakukan (Gibb, Platts & Miller) disebutkan delapan prinsip dengan susunan seperti di bawah ini:[25]
v  Suasana. Suasana yang dimaksud yaitu kesetaraan yang terdapat pada tiap-tiap anggota dalam kelompok. Pengajar adalah juga pelajar dan begitupun dengan pelajar.
v  Rasa aman. Menekankan bahwa kelompok produktif hendaknya menciptakan dan memelihara rasa aman bagi anggota-anggotanya, baik dari anggota yang lain maupun dari luar kelompok (kelompok sekunder).
v  Kepemimpinan bergilir. Kepimimpinan bergilir diharapkan agar kemampuan makin ditingkatkan dan tumbuh rasa percaya diri pada setiap anggota dalam menjalankan tanggung jawabnya.
v  Perumusan tujuan. Tujuan yang jelas merupakan salah satu kepastian bagi kelompok yang produkti. Anggotanya harus mengetahui apa tujuan dari suatu kelompok/organisasi dan untuk apa ia berada di tempat tersebut.
v  Fleksibilitas. Dimaksudkan, perencaan yang dibangun harusnya fleksibel, agar dapat dilaksanakan pada keadaan yang berbeda.
v  Mufakat. Suatu bentuk pengambilan keputusan sebagai hasil atau kesimpulan mengenai satu persoalan. Suatu kelompok diharapkan agar dapat menyepakati atau membuat kesimpulan dari apa yang dibahas.
v  Kesadaran kelompok. Pemahaman terhadap kebersamaan dan kebutuhan setiap anggota diharapkan untuk membantu produktifitas kelompok. Kesadaran yang dibangun lambaut laun menjadikan kita mengerti terhadap peranan dan kebutuhan rekan sekelompok.
v  Penilaian sinambung. Kesinambungan dalam mengevaluasi setiap kegiatan merupakan proses perbaikan kearah yang lebih baik sesuai dengan tujuan kelompok.

Pembahasan                
Di awal penulisan, kami telah memulai dengan definisi. Dari definisi yang kami sampaikan, dinamika kelompok mempelajari perilaku kelompok yang berlangsung pada dimensi interaksi antar anggota terhadap peran yang dimainkan sampai pada pembentukan dan peneguhan yang diupayakan. Interaksi yang berlangsung pada suatu kelompok dengan sistem tertentu dapat terjadi sesuai kesepakatan. Sistem komunikasi yang digunakan suatu kelompok, sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan proses penyelesaian masalah tertentu.
Interaksi yang terjadi dan saling mempengaruhi antar satu anggota dengan yang lainnya, akan berpengaruh pada kelompok. Pengaruh yang diakibatkan oleh pola hubungan akan berakibat pada kualitas hubungan antar anggota dan peran yang dimainkan. Tak jarang, peran yang tidak sejalan dengan tujuan kelompok dan antar sesama anggota akan menimbulkan kekacauan di dalamnya.
Namun, tidak semua pertentangan akan membawa kepada kehancuran dan perpisahan antar orang-orang yang menjalin hubungan. Upaya untuk mempertahankan hubungan dan tak ingin ada kehancuran, dapat dilakukan oleh mereka yang peduli terhadap tujuan yang dicitakan bersama dan selalu konsisten terhadap janji setia yang di ikrarkan. Kesetiaan ini akan membantu dalam kekompakan dan persatuan.
Walaupun demikian, peran yang dimainkan tidak selalu sama, begitupun dengan tingkat pemahan dan informasi yang dimiliki. Dengan informasi yang banyak dan dapat dipercaya, seseorang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan. Untuk bisa menjadi yang diacu, orang harus mempunyai criteria khusus. Dengan criteria yang dimilikinya, orang lain dapat memberikan kepercayaan terhadap urusan yang pelik. Begitupun dengan kelompok yang dipercaya mampu memberika yang terbaik bagi anggotanya, maka orang yang terlibat di dalam akan tetap tinggal menuju kemajuan kerah yang lebih kompleks.
Upaya-upaya yang dibangun demi terwujudnya tujuan, mengharuskan orang untuk bekerja keras. Dalam kelompok pun terdapat upaya yang serius. Ada di antara mereka yang mendominasi, dan ada yang lebih banyak sepakat. Kesepakatan sebagi satu langkah menuju keputusan bersama, bisa terjadi karna kehendak bebas dan terkadang kesepakatan adalah suatu pelarian dan persembunyian. Pelarian dan persembunyian adalah ketakutan dari mereka yang tidak ingin dikucilkan atau takut dijauhi. Ketakukan ini membuatnya tertekan sehingga, tak berani untuk mengemukakan apa yang menjadi pengetahuannya. Selain tekanan, ia tidak memiliki informasi yang memadai yang pada akhirnya hanya diam dan kata setuju yang bisa dikeluarkan.
Lambat laun, jika tidak diimbangi, kehadiran mereka yang terlalu mendominasi dan kehilangan kendali bisa menjadi racun bagi kelompok. Kehilangan kendali bisa membuat seseorang berlaku keras dan mengambil keputusan tanpa melaui musyawarah. Ini dikarenakan menganggap orang lain tak punya pilihan. Jika ini terjadi, mereka yang tidak dipedulikan akan merasa terkucilkan dan bisa jadi memutuskan untuk meninggalkan kelompok.
Seperti yang telah kami sampaikan, konformitas sering terjadi dalam suatu kelompok. Penekanan semacam ini jika terjadi terus menerus, maka kreativitas dan produktifitas kelompok akan menurun. Matinya daya nalar dan digantikan dengan ketundukan tanpa pilihan yang bebas. Sekiranya ini yang terjadi antara pangajar dan pelajar, dimana proses pembelajaran yang dibarengi dengan argumentasi diredupkan dan menganggap apa yang ada adalah yang benar sehingga tak perlu dipersoalkan dan/ dikritisi, alih-alih seorang pemberdaya yang membangun malah menjadi manusia mesin versi behaviorisme. Dipersiapkan sebagai alat produksi bekerja dan kehilangan fungsi sebagai sumber produktifitas. Memang, alat selalu dubutuhkan. Namun manusia perlu dikasihani jika ilmu hanya dijadikan sebagai pemuas hasrat untuk mengumpulkan materi yang banyak namun kehilangan nilai kemanusiaannya. Penjelasan ini adalah salah satu contoh dari penekanan yang berlebuhan dan tidak pada tempatnya.
Kepatuhan seseorang terhadap norma kelompok dan social bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Perbedaan ini bisa memberikan hasil yang berbeda dari satu masalah. Kepatuhan karena merasa takut dikatakan sebagai orang yang melawan aturan, membangkan, membuat oang menjadi cenderung untuk selalu mematuhi norma yang ada. Seandainya hanya persoalan ini sehingga orang tidak melakukan perbuatan amoral, maka pada saat ditempat yang tidak memiliki norma yang ada ditempat terdahulu, yang terjadi adalah perilaku sebaliknya. Akan tetapi jika hadir dari kesadaran bahwa harus untuk dilakukan, maka ada dan tidaknya ganjaran tetap saja selalu patuh.
Dinamisasi tersebut diatas adalah perjalanan menuju suatu tujuan yang diharapkan dalam kelompok. Perjalanan membentuk perilaku tertentu yang sesuai dengan norma kelompok. Norma yang kemudian digunakan untuk mengatur peran keanggotaan. Pola interaksi dan peran yang dimainkan keanggotaan dan atas nama kelompok dalam hubungannya dengan produktifitas kelompok bergantung pada beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah ukuan kelompok. Dengan ukuran yang berbeda suatu sistem komunikasi (jaringan komunikasi) yang sama dapat berbeda efektifitasnya.
Mengingat makalah ini dibuat sebagai bahan diskusi bersama mahasiswa, dan tidak menutup kemungkinan bersama dosen (pengajar), maka kami putuskan untuk tidak membahasnya lebih jauh. Kami ingin lebih pada keaktifan mahasiswa untuk membahas atau mendiskusikannya berdasarkan data yang ada pada bagian tinjauan pustaka. Keputusan ini didasari oleh pendapat bahwa “keterlibatan langsung lebih baik dari pada hanya mendengar atau memperoleh konsepnya”. Dengan kata lain, konsep kebenaran dan kebenaran itu sendiri tidaklah sama, maka untuk mendapatkan kebenaran perlu keterlibatan langsung dalam memverifikasi dan menghadirkannya bagi diri kita. Sebab ini adalah proses pembelajaran dalam konteks pendidikan (keilmuan), diskusi yang dilakukan dengan berargumen yang mengacu pada relitas sebagai fakta sosial menjadi sangat efektif untuk memecahkan masalah yang pernah kami sebutkan pada awal pembabahasan makalah ini. Dengan berdiskusi, diharapkan agar setiap mahasiswa dapat mengemukakan pendapatnya tanpa ragu dan takut terhadap kesalahan yang mungkin terjadi. Dengan demikian, potensi yang ada dapat diberdayakan kearah yang lebih baik dan setiap pernyataan yang dibangun memiliki alasan yang memadai. Pada akhirnya, tidak perlu ada paksaan terhadap orang lain untuk menerima apa yang kita yakini, karna yang terpenting alasan dari keyakianan tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Walhasil, kemandirian pun terbentuk bersama produktifitas mahasiswa dalam bidang keilmuan.

Penutup
Kesimpulan
Kesimpulan kami bahwa, dinamika kelompok merupakan peristiwa yang berlangsung sepanjang perjalanan kerah yang dituju melalui interaksi kelompok. Sebab interaksi adalah gejala yang timbul dari keberadaan keanggotaan maka, faktor situasional dan personal berlaku dalam dinamika kelompok.
Rekomendasi                
Suatu proses pembelajaran yang bertujuan mengaktualkan potensi para pelajar, dapat memberi ruang bagi pelajar untuk mengembangkan potensi yang ia miliki. Untuk itu, penekanan dan pernyataan yang bersifat mematikan semangat keberanian dalam berpendapat agar ditiadakan. Ketakutan yang dialami dalam perjalanan pembelajaran agar dihilangkan dan tak pernah takut terhadap kritikan yang dilontarkan. Karena dengan kritik, kita dapat menguji kebenaran serta kekuatan keyakinan kita. Akan tetapi, keterbuakaan merupakan variabel paling penting untuk menemukan kebenaran tersebut sebagai ganti dari egoisme dari dogmatis.

Daftar Bacaan                       
Budi, R. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Kretakupa Print: Makassar

Efendi, O.U.1993. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti: Bandung
Gerungan, W.A. 2010. Psikologi Sosial. Refika Aditama: Bandung
Liliweri, A. 2011. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Rakhmat, J. 2009. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya: Bandung
Sears, O.D., Freedman, J.L., & Peplau, L.N.1985.Psikologi Sosial(Jilid II, Terj. Indonesia). Penerbit Erlangga: Jakarta
Tubbs Stewart.L. dan Moss S. 2005. Human Communication (Buku I & II, Terj. Indonesia). PT Remaja Rosdakarya: Bandung
Wirawan sarwono, S. 2011. Teori-teori Psikologi Sosial. Rajawali Pers: Jakarta      



[1] Tubbs & Moss. 2005. Human Communication (buku kedua. Terj.Indonesia)
[2] Gerungan W.A.2010. Psikologi Sosial
[3] Sears.,Fredman. & Peplau.Psikologi Sosial.
[4] Op.cit.,hlm.19
[5] Tubbs & Moss. 2005. Human Communication (buku kedua, Terj. Indonesia).hlm.69

[6] Sears.,Fredman & Peplau.Psikologi Sosial.hlm.76-77
[7] Op.cit.,(sebagai perbandingan)
[8] Op.cit.,hlm.78
[9] Ibid.,hlm.80
[10] Ibid.,hlm.80-82
[11] Ibid.,hlm.82-92
[12] Ibid.,hlm.94
[13] Ibid.,hlm.96
[14] Ibid.,hlm.98
[15] Ibid.,hlm.98
[16] Ibid.,hlm.98
[17] J. Rakhmat.Psikologi Komunikasi.hlm.160
[18] Tubbs & Moss. 2005. Human Communication (buku kedua, Terj. Indonesia).hlm.90
[19] Op.cit.,hlm.162
[20] Ibid.,hlm.170
[21] Tubbs & Moss. 2005. Human Communication (buku kedua, Terj. Indonesia).hlm.78
[22] Ibid.,hlm.83-85
[23] Loc.Cit.,129
[24]W.A. Gerungan.Pikologi Sosial.hlm.132
[25]Ibid.,hlm.133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar