Assalam…, kali ini, kami akan
bercerita mengenai Dinamika Kelompok. Ingat,
pembahasan ini merupakan salah satu tema pada studi Ilmu Komunikasi. Biasanya,
terkait dengan mata kuliah Psikologi
Sosial. Bagi teman yang punya tugas dan relevan dengan pembahasan neh, ana
sarankan antum untuk ngutip aja. Ana juga ngase referensinya. Seperti apa pebahasannya, monggo
dibaca…!!!
Prolog
Masyarakat, begitulah kita sebut untuk
menggambarkan makhluk sosial. Dimana terdapat istilah masyarakat maka disitu
terdapat sekelompok individu yang mendiami suatu tempat yang saling
berinteraksi, dengan tujuan dan norma tertentu. Interaksi yang terjadi saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lain, mengalami pergolakan, pertentangan,
keselarasan yang mewarnai kehidupan bermasyarakat. Kelompok ini tak hanya satu
macam, melainkan bermacam-macam. Berabagai macam kelompok ini kerap terbentuk
dari pandangan yang sama dan cita-cita
atau tujuan yang sama dan memutuskan untuk melalui jalan yang satu. Pandangan
yang ada pada satu kelompok yang memiliki perbedaan yang dengannya menjadi
pedoman bertindaknya suatu kelompok sering membawa pada benturan antar kelompok
masyarakat. Namun, pada kesempatan ini kami tidak memfokuskan pembahasan pada
ideologi kelompok melainkan pola interaksi dan variable-variabel yang menekan
serta peran keanggotaan kelompok itu sendiri dalam hubungannya dengan struktur
kelompok.
Dinamika. Apakah yang dimaksud dengan dinamika, dan seperti
apakah dimanika kelompok? Apakah dinamika adalah bagian yang tak terpisahkan
dari kelompok? Dengan kata lain, apakah interaksi kelompok dan antar kelompok
dalam mencapai tujuannya adalah keadaan dinamika itu sendiri? Lalu bagaimana
menyikapi situasi tersebut, memahami faktor yang mempengaruhinya serta pola-pola
interaksi dalam kelompok itu sendiri? Pertanyaan ini merupakan masalah yang
perlu kami jawab, dengan tujuan mendapatkan pahaman yang memadai terhadap
kelompok dan dinamika kelompok, serta bagaimana menyikapi dinamika yang ada
demi meningkatkan hubungan kelompok yang lebih baik.
Pembahasan dinamika kelompok, memaksa kita untuk sesekali
memalingkan wajah kita untuk melihat pembahasan-pemabahasan yang telah lalu,
sebab ia mempunyai keterkaitan, bagaikan sebuah buku yang mempunyai lembaran
awal dan akhir, dan dinamika kelompok adalah halaman tengahnya. Kami mulai
dengan definisi.
Kajian Pustaka
Pengertian
Dinamika
kelompok, pada ilmu komunikasi ia termasuk dalam pemabahasan “komunikasi
kelompok,”[1]
sedangkan pada salah satu buku psikologi social termasuk dalam pembahasan
“situasi kelompok” (social).[2]
Pada buku lain, ia terdapat pada tema pembahasan “kelompok-kelompok.”[3]
Keragaman tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang sama, yaitu “kelompok.” Seperti
biasanya, pengertian adalah penting untuk disebutkan guna memperjelas apa yang
sedang dibicarakan
Floyd D. Ruch (1958) merumuskan sebagai berikut: “Dinamika
kelompok adalah analisis dari hubungan-hubungan kelompok social yang
berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku dalam kelompok adalah hasil dari
interaksi yang dinamis antara individu-individu dalam situasi social.”[4]
Di sisi lain jika dicermati apa yang dilukiskan Tubbs dan Moss, pada bagian ini
kita akan mempelajari “bagaimana orang-orang berperilaku dalam kelompok…”[5]
Dari sudut interaksi maupun peran yang dimainkan kelompok atau perkembangan
kelompok itu sendiri, dalam mencapai tujuan merupakan dinamika. Pada kesempatan
ini kami ingin memulainya dengan konfromitas.
Konformitas
Di kelas, kita melihat orang-orang
berpendapat mengenai pelajaran yang disampaikan dosen. Ada yang bertanya,
mengemukakan pendapatnya. Namun disisi lain, ada orang-orang yang langsung
menerima apa yang disampaikan. Ada pula yang memiliki pendapat tetapi tidak
berani untuk mengemukakannya.
Pada situasi kelompok, kita sering tertekan dengan keputusan
yang diambil sebagai keputusan kelompok. Selain itu, norma kelompok pun menjadi
salah satu faktor penekan anggota-anggotanya. Seringkali oraganisasi atau suatu
komunitas berupaya untuk melakukan perilaku yang memaksa anggotanya atau orang
lain agar sependapat dengan kelompok. Jika orang berperilaku tertentu karena
orang lain berperilaku demikian, dengan kata lain ia membuat keputusan
seperti yang dibuat oleh kebanyakan orang, kita sebut itu sebagai konformitas.
Dalam sebuah penelitian klasik yang
dilakukan Sherif (1935),[6]
mahasiswa dibawa kedalam ruangan gelap dan diarahkan untuk melihat satu titik
cahaya dan dikatakan bahwa cahaya tersebut bergerak. Mahasiswa diminta untuk
mengamati dan menentukan pergeseran yang terjadi pada cahaya. Sherif mengambil
manfaat pada percobaan ini dari sebuah ilusi perceptual yang disebut dengan gejala otokinetis, dimana suatu titik
cahaya yang terlihat dari kegelapan seakan bergerak walaupun sebenarnya tidak
bergerak. Dari hasil pengamatan, subjek memberi jawaban sesuai apa yang
disaksikan, ada yang mengatakan perpindahan cahaya 1 atau 2 inci, ada yang
mengatakan pergeseran mencapai 80 kaki.
Pada percobaan berikutnya, seseorang diminta untuk mengamati
perpindahan cahaya tersebut (sebenarnya ia adalah rekan peneliti yang telah
diatur sebelumnya sesuai dengan rencana peneliti), dan ia menyampaikan
perpindahan hanya mencapai 2 inci, begitu seterusnya ia menyampaikan jawaban
yang selalu sama dan penuh keyakinan. Subjek yang tadinya memiliki jawaban yang
jauh berbeda mulai menyesuaikan jawabannya, pada kesempatan diulangi pengamatan
hingga mendekati jawaban rekan peneliti. Mereka menjadikan jawaban itu seabagai
acuan, padahal meraka sama tidak memiliki alasan yang kuat sebagai landasan
penilaian, namun rekan peneliti begitu yakin dengan jawaban yang ia berikan.
Pada situasi seperti ini, orang berpikir bahwa tingkat persepsi setiap orang
berbeda-beda, dan bisa jadi orang lain memiliki keunggulan dalam hal tertentu, dan
ia lemah pada hal yang sama.[7]
Pada kesempatan lain, Solmon Asch
(1951)[8]
melakukan penelitian terhadap masalah yang sama, ia pun mendapatkan penilain
subjek mengikuti subjek yang lain meskipun subjek mengetahui bahwa penilaian
itu salah. Subjek berusaha menyesuaikan penilaiannya dengan rekan-rekannya.
Mengapa orang menyesuaikan diri? Sears, Freedman &
Peplau (1985) menyebutkan “pada dasarnya orang menyesuaikan diri karena dua
alasan utama. Pertama, perilaku orang lain memberikan
informasi yang bermanfaat.” “Kedua,
kita menyesuaikan diri karena ingin diterima secara sosial dan menghindari celaan.”[9]
Tentu, ini merupakan faktor yang mendorong untuk menyesuaikan diri (konformitas).
Kurangnnya informasi membuat seseorang
ragu untuk mengambil keputusan, dan langkah mudah adalah mengikuti orang lain
dan/ atau kelompok yang dianggap memiliki atau lebih banyak mengetahui. Ada
beberapa variabel terkait faktor ini, yang dapat meningkatkan atau mengurangi
tingkat konformitas. “Pertama. Kepercayaan terhadap kelompok
dan Kedua, kepercayaan yang lemah
terhadap penilaian sendiri.”[10]
Untuk faktor yang kedua (rasa takut terhadap celaan social), memiliki variable
yang dapat menigkatkan perilaku
konformitas yaitu, “rasa takut terhadap penyimpangan” yang didalamnya
memiliki beberapa variable diantaranya, “kekompakkan kelompok, kesepakatan
kelompok, ukuran kelompok, keterikatan pada penilaian bebas, dan keterikatan
terhadap nonkonformitas.”[11]
1.
Ketaatnn
dan/ Kepatuhan
Mirip dengan konformitas, akan tetapi
perilaku yang dilakukan karena ada tuntutan yang mengharuskan untuk
melakukannya – meskipun sebenarnya tidak ingin melakukannya – dan ini lebih
pada norma, kita katakan sebagai kepatuhan atau ketaatan. Ketaatan yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain dan kuat lemahnya ketaatan tersebut,
bergantung pada beberapa variabel sebagai faktor penguat dalam bertindak atau
mengambil keputusan.
Dari
sekian banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai masalah ini,
menemukan keadaan yang menyebabkan orang lain mematuhi suatu perintah dan norma
yang diberlakukan terhadap mereka. Diantara mereka yang melakukan penelitian
yaitu Stanley Milgran (1963), beliau mendapatkan orang cenderung mematuhi orang
yang memiliki otoritas yang sah. Ketaatan terhadap otoritas yang sah tersebut
adalah sebagai bentuk pengakuan yang diberikan oleh subjek kepadanya. Ia akan
merasa tertekan jika tidak mematuhi perintah atau permintaan yang ditujukan sebagai suatu tanggung jawab.
Bisa jadi, sebabnya yang diakui sebagai yang memiliki otoritas oleh karena ahli
pada bidang tersebut, dan dapat dipercaya. Namun disamping itu, jika orang
mengetahui ia bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dilakukannya, hal itu
dapat menurunkan tingkat kepatuhan. Pernyataan ini didukung oleh eksperimen Tilker
(1970). Disebutkan,
faktor yang paling penting dalam
ketaatan adalah bahwa orang memiliki otoritas yang sah dalam situasi itu,
sesuai dengan norma social yang berlaku. Yang dimaksud dengan legitimasi adalah
keyakinan umum bahwa pihak otoritas mempunyai hak untuk menuntut ketaatan
terhadap perintahnya.[12]
Faktor
lain yang mentukan kepatuhan adalah ganjaran, hukuman, dan ancaman. Untuk
memaksa orang lain melakukan suatu perbuatan, dapat berlakukan cara ini.
Ganjaran dapat berupa bayaran, hadiah dan sanjungan atau cercaan yang dilakukan
kelompok kepada anggotanya. Kasus yang menarik mengenai penggunaan ganjaran
adalah apa yang disebut Hawthorne Effect.
Istilah ini diambil dari eksperimen yang diadakan pada sebuah pabrik Hawthorne Western Electric Ompani oleh
Homans, (1965). Pada eksperimen ini ditemukan peningkatan kinerja atau kepatuhan
bisa dipengaruhi dengan perhatian. Perhatian peneliti terhadap subjek (manusia
coba) dengan harapan hasil pekerjaan yang meningkat, akhirnya membawa hasil
yang baik. Subjek merasa diperhatikan dan diperlakukan secara khusus sehingga
dalam situasi apapun, mereka tetap fokus pada pekerjaan mereka.
Selain
kedua yang telah disebutkan, “harapan orang lain” dan “batas tekanan
eksteranal” adalah diantara variabel yang ikut menentukan kepatuhan. Dua
diantaranya yang disebut terdahulu, subjek diminta untuk memberi uang sebagai
suatu harapan dari orang lain yang mengharapkan hal tersebut secara terbuka,
dan hasilnya subjek memberi uang cukup banyak. Hal ini dilaporkan White (1972).[13]
Pada kesempatan lain, dalam penelitian yang dilakukan Kraut (1973), ia
menemukan bahwa pemberian label dapat menciptakan kepatuhan (sebagai bentuk ketaatan yang diperlihatkan).
Misalnya, orang yang dikatakan jujur akan bertindak sesuai dengan label yang
dilekatkan padanya; seseorang yang disebut sebagai baik, memiliki jiwa sosial
yang tinggi akan melayani permintaan bantuan yang diajukan kepadanya (bisa jadi
mau dibilang) – akan tetapi yang perlu diingat, tidak semua yang baik itu
karena pelabelan. Hasil penelitian menunjukan perilaku yang tampak sesuai
dengan lebel yang dinisbahkan kepada mereka. Untuk membuat orang lain menaati
perintah, dapat juga digunakan teknik Foot-in-the-Door,
teknik ini didukung oleh eksperimen Freedman dan Fraser (1966).[14]
Untuk faktor yang belakangan dari dua yang disebut terakhir (batas tekanan
eksternal), dari mereka yang melakukan eksperimen melaporkan bahwa faktor
eksternal berupa tekanan tidak selamanya membawa hasil yang positif terhadap
ketaatan. Tekanan yang berlebihan dapat dianggap sebagai serangan dari luar
yang berusaha merebut kebebasan, sehingga yang terjadi adalah sebaliknya, orang
melakukan perlawanan terhadap situasi seperti itu. Brehm dan Sensenig (1966)
menemukan perilaku tersebut dalam percobaanya.
Perilaku dalam Kelompok
1.
Ciri Dasr
Disini
kita akan menjelaskan, membatasi ruang lingkupnya agar apa yang dimaksud dengan
kelompok menjadi jelas, baik penggunaan secara umum dan mendasar maupun secara
teknis dalam ilmu soaial.
McGrath, mengatakan “kita melewatkan waktu melalui beragan
agregat sosial, yang merupakan istilah umum untuk sekelompok orang”[15]
kita akan melihat beberapa contoh agregat sebagai berikut:
Agregat
statistik: untuk tujuan penelitian,
kadang-kadang diperlukan pengelompokan untuk menganalisis seluruh anggota atau
kategori sosial tertentu, seperti semua yang berambut pirang, semua wanita,
semua kepala rumah tangga yang tidak bekerja, atau semua orang yang berusia di
atas 65 tahun.
Semua anggota agregat statistik
memiliki karekteristik umum, meskipun mereka tidak saling mengenal atau
berinteraksi.
Audiens:semua
orang yang mendengarkan siaran berita pukul 06.30 di saluran 6 Jakarta dan
sekitarnya adalah bagian dari kelompok hadirin yang sama, meskipun mereka tidak
saling mengetahui dan tidak berinteraksi.
Kerumunan (crowd): sekelompok orang yang berada dalam kedekatan fisik dan
bereaksi terhadap stimulus atau situasi umum disebut kerumunan.
Tim:
sekelompok orang yang secara teratur berinteraksi dalam kaitannya dengan
aktivitas atau tujuan tertentu, seperti kelompok kerja, tim olahraga…
Keluarga:
sekalipun jenisnya banyak, pada hakikatnya keluarga terbentuk dari sekelompok
orang yang diikat oleh hubungan kelahiran atau aturan hukum dan biasanya
tinggal bersama di sautu tempat.
Organisasi formal: merupakan agregat yang lebih besar dari orang-orang yang
sering bekerja bersama-sama dengan cara yang terstruktur jelas dalam usaha
mencapai tujuan bersama.
Dalam
kehidupan sehari-hari beberapa poin yang telah kami jabarkan disebut kelompok.
Namun, terdapat perbedaan dengan penggunaan istilah kelompok menurut para
ilmuan sosial, yang mengkhususkan dan bermakna lebih tekhnis. “Didefinisikan
kelompok adalah agregat sosial dimana anggota-anggota yang saling bergantung,
dan setidak-tidaknya memiliki potensi untuk melakukan interaksi satu sama
lain.”[16]
Olehnya itu, kelompok mempunyai ciri khusus (perspektif ilmuan sosial) dan
keragaman. Keragaman tersebut misalnya, ukuran, lamanya, nilai-nilai dan tujuan
serta ruang lingkup. Kelompok yang terkecil dalam lingkungan sosial yaitu diad,
pasangan yang menjalin hubungan interpersonal. Peran sosial sebagai sesuatu
yang terstruktur, dapat disebut sebagai sebuah hirarki peranan. Dalam suatu
hubungan kelompok, kekompakan merupakan salah satu ciri yang menetukan
kelanggengan suatu kelompok.
2.
Ukuran Kelompok, Jaringan Komunikasi (communication
network), kohesi kelompok dan kepemimpinan sebagai faktor situasional
Ukuran kelompok ikut berperan dalam
suatu hubungan kelompok. Besar kecilnya ukuran kelompok dalam keefektifan
bergantung dari jenis persoalan yang akan dipecahkan. Tugas yang dilakukan
suatu kelompok dapat diklasifikasikan menjadi dua: tugas Koaktif dan tugas Interaktif.[17]
tugas koaktif, anggota bekerja secara sejajar namun tidak membangun sisten
komunikasi yang terorganisir, sedangkan interaktif, interaksi yang terjadi
berlangsung secara terorganisir. Yang lain adalah tujuan. Tujuan yang hendak
dicapai ikut mempengaruhi ukuran kelompok. Selain itu, manajemen pun menjadi
variabel yang perlu diperhatikan.Townsend (1985)[18]
memerikan tiga jenis manajeman hasil analisisnya, seperti berikut:
Gambar
2.1., Bagan Manajemen
Dari bagan atau struktur di atas, ada jenis manajemen yang
tidak efektif jika digunakan dalam sautu kelompok. Kelemahan ini akan
mengurangi kefektifan anggota.
Tak penting besar atau kecil, pada suatu kelompok dengan
jenis manajemen tertentu memiliki jaringan komunikasi sebagaimana yang kami
kutip dari Rakhmat (2009),[19]
yang dapat digunakan dalam berinteraksi. Pada kelima jaringan komunikasi ini
memiliki ciri khusus dan keefektifan yang berbeda-beda.
Disamping jaringan komunikasi sebagai faktor situasional dalam kelompok, kohesi, dan kepemimpinan adalah faktor lain. Kohesi dapat diartikan sebagai
upaya mendahulukan orang lain dari diri sendiri, sirnanya egoisme. Sedangkan
kepemimpinan sebagai kekuasaan dan tanggung jawab yang dibebankan kepada
seseorang dan bertanggungjawab menjalankan kelompok kearah yang dituju dan
memberdayakan anggota-anggotanya (Disini kami tidak membahas kepemimpinan
secara panjang, sebab ia memiliki pembahasan tesendiri).
3.
Karakteristik Anggota Kelompok sebagai
Faktor Personal
Suku,
agama, umur, jenis pekerjaan, pendidikan dapat menjadi kriteria personal
kelompok sebagi keprbadian yang mempengaruhi kelompok. Keterbukaan, kepercayaan
dan empati adalah bagian dari variabel yang mempengaruhi kegiatan kelopok.
Kebutuhan untuk memasuki suau kelompok,
tak lepas dari kebutuhan interpersonal. Seseorang yang bergabung pada kelompok
tertentu, bisa jadi karna ia ingin tergabung menjadi anggota, terlibat dalam
kegiatan yang dilakukan, mengontrol oranglain dan/ masuk untuk memperoleh
keakraban, dan terlibat secara emosional. Orang-orang yang terlibat di dalam,
seperti yang kami sampaikan terdahulu, berinteraksi antar satu dengan yang lain
dengan jenis jaringan komunikasi tertentu.
Pada jaringan komunikasi, terdapat
tindak komunikasi yang dilakukan anggota kelmpok. Tindak komunikasi dapat dipelajari melalui
rumusan kategori yang dibuat oleh Robert E. Bales (1950,1955, 1970) dari
Univrsitas Harvard,[20]
dengan istilah API (Analisis Proses Interaksi/Interaction Process Analisys)
kemudian diadaptasi Tubbs (1992)[21]
dari Bene dan Sheats (1948) sebagai berikut:
4.
Tahap pengembangan Kelompok
Kategori yang kami sabutkan merupakan
penjelasan terhadap peran keanggotaan yang berlangsung dalam suatu kelompok,
yang bisa saja terjadi pada kategori A, B, C atau D. Untuk melengkapi
penjelasan, kami perlu menyebutkan tahap-tahap pengembangan kelompok. Tahap
yang pertama yaitu tahap pembentukan.
Tahap ini sebagi pertemuan atau pekenalan. Tubbs dan Moss mengatakan sebenarnya
dimulai sebelum berkenalan. Pernyataan ini sepertinya mengacu pada komunikasi
intrapersonal. Pada tahap kedua adalah tahap
keributan, kemudian tahap penormalan dan kemudian tahap pelaksanaan[22]
serta yang terakhir adalah tahap
pemutusan.[23]
5.
Surat
Produktifitas Kelompok Kecil
Para peneliti di bidang dinamika
kelompok berpendapat bahwa, “kerja sama antar individu yang baik dalam suatu
kelompok demokratis tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi harus dipelajari
orang.”[24]
dari hasil penelitin yang mereka lakukan (Gibb, Platts & Miller) disebutkan
delapan prinsip dengan susunan seperti di bawah ini:[25]
v Suasana. Suasana yang dimaksud yaitu
kesetaraan yang terdapat pada tiap-tiap anggota dalam kelompok. Pengajar adalah
juga pelajar dan begitupun dengan pelajar.
v Rasa aman. Menekankan bahwa kelompok produktif
hendaknya menciptakan dan memelihara rasa aman bagi anggota-anggotanya, baik
dari anggota yang lain maupun dari luar kelompok (kelompok sekunder).
v Kepemimpinan bergilir. Kepimimpinan bergilir diharapkan agar
kemampuan makin ditingkatkan dan tumbuh rasa percaya diri pada setiap anggota
dalam menjalankan tanggung jawabnya.
v Perumusan tujuan. Tujuan yang jelas merupakan salah satu
kepastian bagi kelompok yang produkti. Anggotanya harus mengetahui apa tujuan
dari suatu kelompok/organisasi dan untuk apa ia berada di tempat tersebut.
v Fleksibilitas. Dimaksudkan, perencaan yang dibangun
harusnya fleksibel, agar dapat dilaksanakan pada keadaan yang berbeda.
v Mufakat. Suatu bentuk pengambilan keputusan
sebagai hasil atau kesimpulan mengenai satu persoalan. Suatu kelompok
diharapkan agar dapat menyepakati atau membuat kesimpulan dari apa yang
dibahas.
v Kesadaran kelompok. Pemahaman terhadap kebersamaan dan
kebutuhan setiap anggota diharapkan untuk membantu produktifitas kelompok.
Kesadaran yang dibangun lambaut laun menjadikan kita mengerti terhadap peranan
dan kebutuhan rekan sekelompok.
v Penilaian sinambung. Kesinambungan dalam mengevaluasi
setiap kegiatan merupakan proses perbaikan kearah yang lebih baik sesuai dengan
tujuan kelompok.
Pembahasan
Di awal penulisan, kami telah memulai
dengan definisi. Dari definisi yang kami sampaikan, dinamika kelompok
mempelajari perilaku kelompok yang berlangsung pada dimensi interaksi antar
anggota terhadap peran yang dimainkan sampai pada pembentukan dan peneguhan
yang diupayakan. Interaksi yang berlangsung pada suatu kelompok dengan sistem
tertentu dapat terjadi sesuai kesepakatan. Sistem komunikasi yang digunakan
suatu kelompok, sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan proses
penyelesaian masalah tertentu.
Interaksi yang terjadi dan saling mempengaruhi antar satu
anggota dengan yang lainnya, akan berpengaruh pada kelompok. Pengaruh yang
diakibatkan oleh pola hubungan akan berakibat pada kualitas hubungan antar
anggota dan peran yang dimainkan. Tak jarang, peran yang tidak sejalan dengan
tujuan kelompok dan antar sesama anggota akan menimbulkan kekacauan di
dalamnya.
Namun, tidak semua pertentangan akan membawa kepada
kehancuran dan perpisahan antar orang-orang yang menjalin hubungan. Upaya untuk
mempertahankan hubungan dan tak ingin ada kehancuran, dapat dilakukan oleh
mereka yang peduli terhadap tujuan yang dicitakan bersama dan selalu konsisten
terhadap janji setia yang di ikrarkan. Kesetiaan ini akan membantu dalam
kekompakan dan persatuan.
Walaupun demikian, peran yang dimainkan tidak selalu sama,
begitupun dengan tingkat pemahan dan informasi yang dimiliki. Dengan informasi
yang banyak dan dapat dipercaya, seseorang dapat dijadikan sebagai bahan
rujukan. Untuk bisa menjadi yang diacu, orang harus mempunyai criteria khusus.
Dengan criteria yang dimilikinya, orang lain dapat memberikan kepercayaan
terhadap urusan yang pelik. Begitupun dengan kelompok yang dipercaya mampu
memberika yang terbaik bagi anggotanya, maka orang yang terlibat di dalam akan
tetap tinggal menuju kemajuan kerah yang lebih kompleks.
Upaya-upaya yang dibangun demi terwujudnya tujuan,
mengharuskan orang untuk bekerja keras. Dalam kelompok pun terdapat upaya yang
serius. Ada di antara mereka yang mendominasi, dan ada yang lebih banyak
sepakat. Kesepakatan sebagi satu langkah menuju keputusan bersama, bisa terjadi
karna kehendak bebas dan terkadang kesepakatan adalah suatu pelarian dan persembunyian.
Pelarian dan persembunyian adalah ketakutan dari mereka yang tidak ingin
dikucilkan atau takut dijauhi. Ketakukan ini membuatnya tertekan sehingga, tak
berani untuk mengemukakan apa yang menjadi pengetahuannya. Selain tekanan, ia
tidak memiliki informasi yang memadai yang pada akhirnya hanya diam dan kata
setuju yang bisa dikeluarkan.
Lambat laun, jika tidak diimbangi, kehadiran mereka yang
terlalu mendominasi dan kehilangan kendali bisa menjadi racun bagi kelompok. Kehilangan
kendali bisa membuat seseorang berlaku keras dan mengambil keputusan tanpa
melaui musyawarah. Ini dikarenakan menganggap orang lain tak punya pilihan.
Jika ini terjadi, mereka yang tidak dipedulikan akan merasa terkucilkan dan
bisa jadi memutuskan untuk meninggalkan kelompok.
Seperti yang telah kami sampaikan, konformitas sering
terjadi dalam suatu kelompok. Penekanan semacam ini jika terjadi terus menerus,
maka kreativitas dan produktifitas kelompok akan menurun. Matinya daya nalar
dan digantikan dengan ketundukan tanpa pilihan yang bebas. Sekiranya ini yang
terjadi antara pangajar dan pelajar, dimana proses pembelajaran yang dibarengi
dengan argumentasi diredupkan dan menganggap apa yang ada adalah yang benar
sehingga tak perlu dipersoalkan dan/ dikritisi, alih-alih seorang pemberdaya
yang membangun malah menjadi manusia mesin versi behaviorisme. Dipersiapkan
sebagai alat produksi bekerja dan kehilangan fungsi sebagai sumber
produktifitas. Memang, alat selalu dubutuhkan. Namun manusia perlu dikasihani
jika ilmu hanya dijadikan sebagai pemuas hasrat untuk mengumpulkan materi yang
banyak namun kehilangan nilai kemanusiaannya. Penjelasan ini adalah salah satu
contoh dari penekanan yang berlebuhan dan tidak pada tempatnya.
Kepatuhan seseorang terhadap norma kelompok dan social bisa
dilihat dari dua sisi yang berbeda. Perbedaan ini bisa memberikan hasil yang
berbeda dari satu masalah. Kepatuhan karena merasa takut dikatakan sebagai orang yang
melawan aturan,
membangkan, membuat oang menjadi cenderung untuk selalu mematuhi norma yang
ada. Seandainya hanya persoalan ini sehingga orang tidak melakukan perbuatan
amoral, maka pada saat ditempat yang tidak memiliki norma yang ada ditempat
terdahulu, yang terjadi adalah perilaku sebaliknya. Akan tetapi jika hadir dari
kesadaran bahwa harus untuk dilakukan, maka ada dan tidaknya ganjaran tetap
saja selalu patuh.
Dinamisasi tersebut diatas adalah
perjalanan menuju suatu tujuan yang diharapkan dalam kelompok. Perjalanan membentuk
perilaku tertentu yang sesuai dengan norma kelompok. Norma yang kemudian
digunakan untuk mengatur peran keanggotaan. Pola interaksi dan peran yang
dimainkan keanggotaan dan atas nama kelompok dalam hubungannya dengan
produktifitas kelompok bergantung pada beberapa faktor. Salah satu diantaranya
adalah ukuan kelompok. Dengan ukuran yang berbeda suatu sistem komunikasi
(jaringan komunikasi) yang sama dapat berbeda efektifitasnya.
Mengingat makalah ini dibuat sebagai bahan diskusi bersama
mahasiswa, dan tidak menutup kemungkinan bersama dosen (pengajar), maka kami putuskan
untuk tidak membahasnya lebih jauh. Kami ingin lebih pada keaktifan mahasiswa
untuk membahas atau mendiskusikannya berdasarkan data yang ada pada bagian
tinjauan pustaka. Keputusan ini didasari oleh pendapat bahwa “keterlibatan
langsung lebih baik dari pada hanya mendengar atau memperoleh konsepnya”.
Dengan kata lain, konsep kebenaran dan kebenaran itu sendiri tidaklah sama,
maka untuk mendapatkan kebenaran perlu keterlibatan langsung dalam
memverifikasi dan menghadirkannya bagi diri kita. Sebab ini adalah proses
pembelajaran dalam konteks pendidikan (keilmuan), diskusi yang dilakukan dengan
berargumen yang mengacu pada relitas sebagai fakta sosial menjadi sangat efektif
untuk memecahkan masalah yang pernah kami sebutkan pada awal pembabahasan makalah
ini. Dengan berdiskusi, diharapkan agar setiap mahasiswa dapat mengemukakan
pendapatnya tanpa ragu dan takut terhadap kesalahan yang mungkin terjadi.
Dengan demikian, potensi yang ada dapat diberdayakan kearah yang lebih baik dan
setiap pernyataan yang dibangun memiliki alasan yang memadai. Pada akhirnya,
tidak perlu ada paksaan terhadap orang lain untuk menerima apa yang kita
yakini, karna yang terpenting alasan dari keyakianan tersebut dapat dipahami
oleh orang lain. Walhasil, kemandirian pun terbentuk bersama produktifitas
mahasiswa dalam bidang keilmuan.
Penutup
Kesimpulan
Kesimpulan kami bahwa, dinamika kelompok merupakan peristiwa
yang berlangsung sepanjang perjalanan kerah yang dituju melalui interaksi
kelompok. Sebab interaksi adalah gejala yang timbul dari keberadaan keanggotaan
maka, faktor situasional dan personal berlaku dalam dinamika kelompok.
Rekomendasi
Suatu proses pembelajaran yang
bertujuan mengaktualkan potensi para pelajar, dapat memberi ruang bagi pelajar
untuk mengembangkan potensi yang ia miliki. Untuk itu, penekanan dan pernyataan
yang bersifat mematikan semangat keberanian dalam berpendapat agar ditiadakan.
Ketakutan yang dialami dalam perjalanan pembelajaran agar dihilangkan dan tak
pernah takut terhadap kritikan yang dilontarkan. Karena dengan kritik, kita
dapat menguji kebenaran serta kekuatan keyakinan kita. Akan tetapi,
keterbuakaan merupakan variabel paling penting untuk menemukan kebenaran
tersebut sebagai ganti dari egoisme dari dogmatis.
Daftar Bacaan
Budi, R. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Kretakupa Print: Makassar
Efendi,
O.U.1993. Ilmu Teori dan Filsafat
Komunikasi. Citra Aditya Bakti: Bandung
Gerungan,
W.A. 2010. Psikologi Sosial. Refika
Aditama: Bandung
Liliweri,
A. 2011. Dasar-dasar Komunikasi Antar
Budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Rakhmat, J. 2009. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya: Bandung
Sears,
O.D., Freedman, J.L., & Peplau, L.N.1985.Psikologi Sosial(Jilid II, Terj. Indonesia). Penerbit Erlangga:
Jakarta
Tubbs
Stewart.L. dan Moss S. 2005. Human
Communication (Buku I & II, Terj. Indonesia). PT Remaja Rosdakarya:
Bandung
Wirawan sarwono, S. 2011. Teori-teori Psikologi Sosial. Rajawali
Pers: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar