Sebuah Analisis dan Tanggapan Mengenai
Keraguannya.,(**eL)
Prolog
Seperti
yang dijelaskan dalam pembahasan Epistemologi, khususnya mengenai keraguan para
filsuf terhadap pengetahuan[1] yang dimuat pada pembahasan
kemungkinan pengatahuan, al-Ghazali* termasuk
salah satu yang meragukan pengetahuan. Menurut penulis, keraguan al-Ghazali
perlu dibicarakan tersendiri menghingat terdapat kekhasan di dalamnya. Kekhasan
yang kami temukan adalah mengenai beberapa pernyataannya tentang pengetahuan
yang bersinggungan dengan alam mimpi (malakut). Keterjebakan ini berbeda dengan
yang lainnya yang hanya pada wilayah epirik atau persoalan alat pengetahuan, –
sebagaimana akan kami uraikan nanti – meskipun pada akhirnya – disatu sisi –
yang menjadi permasalahan utamannya adalah masalah sandaran pengetahuan pula. Perlu
diingat, pembahasan ini lebih banyak memfokuskan diri pada teks yang terdapat
pada Pengantar Epistemologi Islam.[2]
Selain itu, dalam analisis ini bukan berarti penulis adalah seorang yang melebihi
atau lebih mulia dari al-Ghazali, juga yang menjadi kritikan disini adalah apa
yang termuat dalam sumber yang kami peroleh. Adapun kekeliruan atau ketidak
sesuaian teks tersebut, atau awal dan kelanjutan teks yang tidak disertakan
sehingga miss dalam memahami, tidak mengurangi keilmuan dan rasa hormat
penulis terhadap beliau.
Saya
akan coba mengurai permasalahan ini dengan menukil beberapa pendapatnya (al-Ghazali)
yang samapai pada kami, dengan menggunakan metode rasional (rasio mandiri) dan
coba mengaitkannya dengan sifat relitas alam (probabilitas) untuk mendudukkan
posisi keraguan al-Ghazali, sebagai kritikan terhadap gagasannya. Jika Allah Swt.
mengizinkan.
Suatu
Tinjauan
Seperti
yang dijanjikan, disini saya akan menyampaikan beberapa argumen dari al-Ghazali
menyangkut keraguannya. Tatkala ia diliputi keraguan terhadap berbagai
pengetahuannya, ia menuju indranya dan berkata:
Sekarang saya duduk disini,
buku ada di depan saya, pena dan kertas ada di tangan saya, saya sedang melihat
angkasa, saya tengah mendengar berbagai suara, sekalipun saya ragu terhadap
berbagai hal, tetapi saya tidak dapat ragu terhadap keraguan saya ini.[3]
Sebagaimana
maklum, pernyataan di atas menegaskan tentang keyakinannya terhadap
keraguan yang ia alami, meskipun ia dalam keadaan ragu terhadap segala bentuk
pengetahuannya. Namun kali berikutnya, ia belum mendapatkan kepastian tentang
sumber keyakianannya, sebagaimana yang terlihat pada argumen lain – yang akan
saya tunjukkan – yang ia ajukan atas pengetahuannya. Pengakuan ini memiliki
kemiripan seperti yang dialami oleh Descartes ketika memeriksa kembali seluruh pengetahuannya.
Saat tersebut, (Descartes) mendapati kelemahan alat-alat pengetahuan sehingga
tidak satu pun tersisa keyakinan tentangnnya, dan kemudian ia mengakui
keberadaan ide-ide yang tidak didapati melalui indra melainkan sesuatu yang
bersifat intuisi yang terjelaskan pada proposisi cogito, ergo sum. Agak
berbeda dengan itu, al-Ghazali sampai pada alam mitzal yang kemudian
dinisbahkan kepada seluruh pengetahuannya, seperti di bawah ini:
Wahai Ghazali! Sampai sekarang
ini engkau masih tengah bermimpi. Misalnya dalam mimpi engkau duduk dan melihat
buku, sedang berbicara dengan rekan-rekanmu, engkau mendengar pembicaraannya,
dan di alam mimpi itu engkau melihat semuanya dengan mata kepalamu sendiri,
memakan makanan yang lezat-lezat, dan semua itu tidak ubahnya seperti yang diungkapkan
oleh Nasim Syumol mengenai keluhan si fakir[4] yang hidup sengsara.
Ungkapan
tersebut merupakan kelanjutan dari yang terkemuka. Tentu, kesemua itu memiliki
sebab, akan tetapi apakah sebab dari keraguan tersebut? Ini yang menjadi
kegalauan orang-orang yang menyaikini kepastian pengetahuan. Kemudian, argumen
lain yang ia ajukan berupa satu pengakuan untuk dirinya, sebagai jawaban
terhadap keraguannya dengan harapan menemukan suatu keyakianan. Ia mengatakan:.
Wahai Ghazali! Tidakkah dalam
alam mimpimu engkau telah melihat hal-hal yang semacam ini? Sebagaimana sekarang
ini engkau tidak merasa ragu bahwa ini (keraguan) adalah benar, di alam mimpi
pun engkau tidak merasa ragu terhadap apa yang engkau lihat saat itu. Pernahkah
engkau menjumpai seseorang yang merasa ragu atas apa-apa yang ia lihat dalam
mimpinya dan mengatakan, ‘apakah benar yang aku lihat ini atau salah?’ di alam
mimpi manusia tidak akan merasa ragu, apa yang ia saksikan benar-benar
saksikan. Namun saat ia terjaga, ternyata semua itu hanya hayalan dan tidak ada
bentuknya (relitas luaran., penulis).[5]
Ketika
Ghazali berbicara tentang realitas mimpi – seperti pada argumen di atas – ia
menemukan dua keadaa yaitu mengetahui dua alam (alam mimpi dan alam yang bukan
mimpi). Hal itu terlihat saat ia mempertanyakan tentang keyakinan seseorang
terhadap mimpinya. Jika kita andaikan ia sedang bermimpi tentang alam mimpi -
dengan kata lain mimpi dalam mimpi – lalu bagaimana bisa demikian jika tidak
pernah mengalami suatu alam yang bukan alam mimpi tersebut? Apakah ia yakin
tentang pernyataan mengenai pertanyaannya terhadap seorang yang mimpi namun
tidak meragukan tentang mimpi tersebut? Dari manakah pengetahuannya dan di alam
manakah ia mengetahui ketika seseorang sedang bermimpi, ia yakin tentang hal
itu, sedang saat terjaga ternyata semua itu hanya mimpi?
Kemudian
ia melanjutkan:
Mungkinkah seluruh kehidupanku
ini bukan mimpi besar? Apakah tidak mungkin sekarang ini, saya, Gazali, yang di
lahirkan oleh ibuku si fulan dan memiliki ayah si fulan, menuntut ilmu di
sekolah, menikah, belajar selama bertahun-tahun, bertahun-tahun melatih diri,
dan sekarang duduk disini, lalu secara tiba-tiba saya terbangun dan menyaksikan
bahwa semuanya hanyalah mimpi? Dari mana saya tahu kalau ini bukan mimpi?
Adakah bukti yang meperkuat bahwa kehidupan saya sekarang ini, di mana sekarang
ini saya duduk sebagai filosof dan hendak menemukan suatu dasar pemikiran,
adalah bukan merupakan lanjutan dari sebuah mempi panjang?[6]
Selain
itu, Terdapat penjelasan lain, seperti
yang kami kutip dari salah satu artikel[7] bahwa, “keraguan yang di
alami al-Ghazali adalah keraguan metodis, yakni sebuah metode yang dikembangkan
untuk mendapatkan kepastian segala sesuatu yang tak terbantahkan.” “Dengan
demikian, disimpulkan bahwa keraguan al-Ghazali bukanlah tentang kebenaran itu
sendiri, maliankan tentang cara untuk mengetahui dan untuk menerima kebenaran.”
Dari sini kemudian diselaraskan denga pernyataan lain – dari al-Ghazali – “Jika
seorang mampu untuk ragu, maka itu pertanda akan mencapai kepastian.”[8] Dari penjelasan ini, kita
melihat ada dukungan yang kuat terhadap keraguan atas sum,ber penilaian.
Selain itu, al-Ghazali dalam traktat al-Munqidz min al-Dhalal.[9] “…keraguanlah
yang mengantarkan pada kebenaran. Barang siapa yang tidak pernah merasa ragu
maka ia tidak memandang. Barang siapa yang tidak pernah memandang maka ia tidak
pernah melihat. Dan barang siapa yang tidak pernah melihat maka ia akan tetap dalam
keadaan kebutaan dan kesesatan….”[10]
Pembahasan
Ada
baiknya sebelum menelusuri permasalahan ini, perlu diperhatikan beberapa hal
yang menjadi acuan analisis saya. Pertama, apa yang dimaksud dengan
pengetahuan; Kedua, apa alat dan sumber pengetahuan; ketiga, landasan
apa yang digunakan dalam menilaian; keempat, samakah setiap pengetahuan
yang kita miliki atau tidak?
Analisis
Sebelum anda membaca tulisan ini, anda
tidak memiliki sesuatu tentang al-Ghazali dalam pandangan penulis, paling tidak
cara penulis berbicara tentangnya. Namun sekarang, anda telah memiliki sesuatu
dari tulisan ini, sebagai suatu yang baru pada benak anda. kondisi pertama (A) adalah
majhul (ketiadaan gambaran mengenai hal ini bagi anda), yang artinya
tidak mengetahui, sedangkan kondisi kedua (B) adalah sebuah perolehan; hadirnya
gambaran pada benak anda (maklum), yang dengan kata lain anda mengetahui/paham.
Dengan begitu, kondisi B merupakan keterhubungan antara objek (pengetahuan) dan
subjek (yang mengetahui). Lalu bagaimana
hadirnya gambaran tersebut? Tidak didapat alat pada diri mansia kecuali, indra
dan rasio, dan tak ada hal lain yang digunakan untuk menilai selain rasio
manusia – terlepas dari kekeliruannya. Selanjutnya, kita sadar terhadap
kehadiran sesuatu yang bersifat sederhana, dan juga kehadiran sesuatu yang
kompleks atau jamak. Begitu juga dengan kesederhanaanya sebagai suatu kehadiran
yang bukan gambaran dan sebagai gambaran. Agar memahami posisi Ghazali, kita
akan melihat beberapa poin di atas dalam pernyataan yang di sebutkan.
Seperti apa yang
diutarakan, al-Ghazali mengakui keraguannya sebagai suatu kepastian, sehingga
ia menjadikan keraguan tersebut sebagai tolak ukur keyakinan pengetahuannya.
Akan tetapi, ia kembali tersadar dan memunculkan pertanyaan, dengan apa semua
keadaan saat itu dapat dipastikan benar-benar nyata? Dengan ungkapan lain, apa
sumber penilaian tersebut yang mampu memberi keyakinan kepada kita? Tidak
adanya kepastian sebagai landasan pengetahuan sehingga membuatnya melambung jauh
dan mencapai pengandaian tentang alam mitzal. Sehingga, Ghazali berada
pada persimpangan jalan, dan tak dapat menentukan arah mana yang benar (mimpi
panjang atau kenyataan). Walhasil, ia
berada dalam keraguan sebab tak menemukan tempat berpijak untuk melangkah.
Jika, misalnya akan melangkah, maka keraguanlah yang menjadi basis
kepastiannya. Sebenarnya apa yang menjadi sebab awal keraguan tersebut?
Di sisi lain,
la-Ghazali berbicara tentang keraguan dalam bentuk yang berbeda. Ia menjadikan
keraguan sebagai batu pijakan untuk menemukan kepastian. Jika orang tidak
pernah merasa ragu, maka tidak akan memperoleh kepastian, sebab ia tak pernah
memandang. Walaupun demikian, saya akan mengemukakan keberatan terhadap
keraguannya dan juga menganai keraguan sebagai dorongan untuk memandang dan
menemukan kepastian.
Sanggahan I
Jika keraguannya berasal
dari indra dan rasio yang disebabkan atas kekeliruannya, dan benar kita yakin
terhadap kesalahan tersebut, maka disaat itu kita telah menemukan suatu
kepastian tentang pengetahuan bahwa indra dan rasio telah melakukan kekeliruan
yang merupakan penilaian rasional. Jika tidak demikian, maka keraguan tersebut
adalah ketidakpastian yang berarti tidak dapat dijadikan sandaran untuk
memutuskan sesuatu, sebab suatu sandaran yang tak pasti tidak dapat dijadikan
sebagai tolak ukur kepastian. Seperti jika ia katakan, indra dan rasio
melakukan kesalahan, sesuatu yang melakukan kesalahan tidak dapat dijadikan
sandaran. kesimpulannya, indra dan rasio tidak dapat dijadikan sandaran, maka
begitu pun sebaliknya. Begitulah kenyataannya bahwa tidak setiap penilaian
adalah salah, sebab jika tidak demikian sudah pasti kita tidak dapat
berkata-kata tentang sesuatu. Dari sini, bisa dipahami kesalahan tersebut
muncul dari generalisasi yang keliru. Pada akhirnya, dapat dikatakan pengetahuan
terbagi atas pengetahuan yang salah dan benar.
Kekeliruan
generalisasi dapat terjadi karena tidak adanya penyelidikan secara berhati-hati
terhapdap pengetahuan, sehingga tidak mampu membedakan pengetahuan Tashdiq
dan Tashawwur. Tidak adanya pemilahan ini mengakibatkan tercampurnya
antara konsepsi dan penilaian, sehingga tidak mampu menentukan hubungan
negasi antar predikat dan subjek dan hubungan afirmasi antara
keduanya (subjek-objek).
Sanggahan II
Jika dikatakan kita tidak dapat menggunakan indra dan rasio
untuk menghukumi keraguan al-Ghazali, sebab al-Ghazali tidak meletakkan
keraguannya seperti Descartes tetapi ia mebawanya ke alam malakut (mitzal),
maka cukup kita katakan bahwa apa yang diketahui di alam malakut tersebut sama
seperti pada alam materi, yaitu menggunakan indra dan rasio seperti yang
termuat dalam pernyataannya. Jika demikian, dari manakah hadirnya pengetahuan
tersebut? Apakah alam malakut merupakan sumber pengetahuan kita seperti, buku,
pena dan langit? Ataukah gagasan tentang hal tersebut di dapat dari alam materi
sehingga persoalan yang mendasar adalah, adakah kesesuaian antar ide dan
relitas? Dengan demikian, atas dasar apa kita menolak rasio dan indra sebagai
alat pengetahuan? Maka tak lain, jalan satu-satunya kita harus membuat suatu
rumusan yang tepat agar dapat menentukan peran indra dan rasio dalam konsepsi (tashawwur;
ide) dan penilaian (tashdiq; afirmasi).
Selain itu, tentang
ketidakpastian atau keraguan, bisa jadi muncul
karena tidak membedakan pegetahuan yang sederhana (kehadiran; khuduri)
dan pengetahuan konsepsi (husuli) sehingga menganggap setiap pengetahuan
adalah perolehan.
Sanggahan III
Terhadap pengetahuan
(keraguan) yang dianggap sebagai basis dari keyakinan masih dapat diterima jika
keraguan yang dimaksud hanyalah keraguan dalam kata, dan bukan dalam afirmasi
(keputusan). Keraguan dalam bentuknya yang sesungguhnya adalah bentuk penegasan,
terhadap suatu masalah dengan penjelasan terdapat hubungan negasi atas suatu
hal. Namun hubungan negasi tersebut pada penetapannya (keptusan jiwa), ia
adalah salah satu bentuk afirmasi. Olehnya itu, tidak didapat bentuk tindakan,
kecuali keyakinan sebagai basisnya, bukan sebaliknya. Begitupun bisa dimaklumi
jika keraguan digunakan sebagai tahap pencarian, dan bukan untuk meneguhkan
suatu keyakinan, sebab keraguan adalah sautu hal yang tak pasti.[11]
Sanggahan IV
Tanggapan atas keraguan yang tak berujung pada suatu keyakinan (mimpi
panjang al-Ghazali), yang dapat dianggap sebagai
suatu hal yang mungkin tidak epistemik, cukup kita katakan sebagai bentuk
pertanyaan yang relevan dengan beberapa penjelasan dari beberapa sumber tentang
sebuah metode. Adalah pertanyaan ini, menyangkut penentuan suatu cara untuk
mendapatkan sumber penilaian yang pasti. Akan tetapi jika demikian maka kita
akan kembali pada rasio yang juga akan menghasilkan suastu keyakianan.
Saat meragukan apakah
kedaan yang sedang ia alami adalah mimpi pamjang atau kenyataan sebenarnya,
sebab tidak memperoleh sebuah alat untuk menilai pengetahuannya, bukankah saat
itu ia telah menggunakan rasionya untuk meragu? Mengapa ia menajdikan rasio
sebagai yang diragukan dan keraguan yang diberi menggunakan rasio? Benarkah
jika kita mengingkari rasio dengan menggunakan rasio kita? Tentu tidak
dibenarkan. Keraguan yang dianggap merupakan langkah awal untuk memandang tidak
dapat dibenarkan, sebab sebelum memandang kitad akan memperoleh suatu
pengetahuan. Adapun upaya verifikasi berdasarkan kepastian bahwa suatu konsep
memiliki relitas, dan apakah ada kesesuaian atara konsep dan fakta?
Sanggahan V
Namun, disisi lain
kita dapat menyelesaikan persoalan ini, dengan probabilitas. Dengan membuka
berbagai kemingkinan, kita dapat memulainya dari kekosongan keyakinan (ketidak
pastian) menuju kemungkinan yang relevan dengan persoalan, dan melihat hubungan
antar proposisi (kemungkinan) tersebut. Apakah ia tabayun, tasawi,
dakhilaintahta tadhad atau mutadhadatain. Dengan demikian, kita
dapat mereduksi sebagaian kemungkinan tersebut dan menentukan satu sebab atau
kepastian pengetahuan. Olehnya itu, tidak mungkin tetap berada dalam sebuah
keraguan atau ketidakpastian seperti yang di alami al-Ghazali. Walhasil, kita
akan memualainya dari pengetahuan yang bersifat sederhana dan pasti
kebenarannya. Maka dari itu, tidak ada ruang untuk mempertanyakan tentang mimpi
yang panjang dan tak berujung kecuali yang dimaksud kehidupan di dunia ini
adalah mimpi yang panjang yang nantinya akan terbangun (kematian; bangkit).
Beberapa Point
Saya tidak menyebut
ini sebagai kesimpulan, sebab tidak lazimnya suatu kesimpulan. Walupun
demikian, ini merupakan kesimpulan mungil saya. Ketergelinciran di atas, dan
beberapa filsuf lain adalah dikarenakan beberapa hal berikut:
· Tidak memperhatikan
posisi atau peran indra dalam konsespsi dan penilaian;
· Kurang perhatian dalam
menelaah esensi pengetahuan;
· Tidak membedakan
penilaian dan konsepsi;
· Generalisasi yang
tidak semestinya;
· Tidak mengakui prinsip
rasional/apriori;
· Membuka kemungkinan namun
tidak memperhatikan pengetahuan apriori, sebagai prinsip rasional;
· Melupakan bahwa
pengetahuan yang benar tidak memiliki keterputusan dengan prinsip yang niscaya;
bagai sebuah bangunan yang harus memiliki dasar yang jelas.
Semoga bermanfaat,
baik dalam kesalah, kekurangan dan kebenarannya. Jika terdapat kekeliruan,
semoga segera dipahami dan mengetahui cara penyelesaiannya.
[1] Dapat merujuk
ke Muthahhari, Pengantar Epistemologhi Islam, Shadra Press
*
Nama asli Imam
al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi
Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M).
Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di
pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia,
ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani
agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya
kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di
Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya
yang ke 55 tahun, (http://syafieh74.blogspot.com/2013/04/al-ghazali-dan-kritiknya-terhadap.html).
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,
[4] Suatu malam aku bermimpi mengenakan
pakaian baru
Ku dengar
alunan musik dan aku berada diranjang yang hangat dan lembtu
Sakuku penuh
dengan uang yang tak terhitung
Saat terjaga, aku melihat sebagaian anggota
tubuhku tanpa pakaian
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] http://hefnizeinstain.blogspot.com/2013/04/posisi-keraguan-dan-epistemologi-islam.html., diakses
070913, 14.53
[8] Ibid.,
[9] Abu Hamid al-Ghazali. al-Munqidz min al-Dhalal. hlm. 67.
Dikutip dari Mahmud Hamdi Zaqauq, al-Ghazali;
Sang Sufi Sang Filosof, terj. Ahmad Rofi’i Utsmani (Bandung: Pustaka, 1987) h. 18
[10] http://filsafat.kompasiana.com/2011/06/09/kepastian-adalah-keraguan-371365.html., diakses 070813,
pukul 15.09
[11] Dapat merujuk
ke Logika Induksi
Mohon maaf, terdapat gangguan pada tampilan halaman ini. jika anda menemukan kesalan yang membuat anda tidak melihat tulisan yang tertera, anda dapat melakukannya dgn cara memblog wilayah tersebut agar dapat membacanya.
BalasHapusterimakasih....