Jumat, 09 Agustus 2013

U r a i a n S i n g k a t T e n t a n g a l – G h a z a l i

Sebuah Analisis dan Tanggapan Mengenai Keraguannya.,(**eL)

Prolog
Seperti yang dijelaskan dalam pembahasan Epistemologi, khususnya mengenai keraguan para filsuf terhadap pengetahuan[1] yang dimuat pada pembahasan kemungkinan pengatahuan, al-Ghazali* termasuk salah satu yang meragukan pengetahuan. Menurut penulis, keraguan al-Ghazali perlu dibicarakan tersendiri menghingat terdapat kekhasan di dalamnya. Kekhasan yang kami temukan adalah mengenai beberapa pernyataannya tentang pengetahuan yang bersinggungan dengan alam mimpi (malakut). Keterjebakan ini berbeda dengan yang lainnya yang hanya pada wilayah epirik atau persoalan alat pengetahuan, – sebagaimana akan kami uraikan nanti – meskipun pada akhirnya – disatu sisi – yang menjadi permasalahan utamannya adalah masalah sandaran pengetahuan pula. Perlu diingat, pembahasan ini lebih banyak memfokuskan diri pada teks yang terdapat pada Pengantar Epistemologi Islam.[2] Selain itu, dalam analisis ini bukan berarti penulis adalah seorang yang melebihi atau lebih mulia dari al-Ghazali, juga yang menjadi kritikan disini adalah apa yang termuat dalam sumber yang kami peroleh. Adapun kekeliruan atau ketidak sesuaian teks tersebut, atau awal dan kelanjutan teks yang tidak disertakan sehingga miss dalam memahami, tidak mengurangi keilmuan dan rasa hormat penulis terhadap beliau.
Saya akan coba mengurai permasalahan ini dengan menukil beberapa pendapatnya (al-Ghazali) yang samapai pada kami, dengan menggunakan metode rasional (rasio mandiri) dan coba mengaitkannya dengan sifat relitas alam (probabilitas) untuk mendudukkan posisi keraguan al-Ghazali, sebagai kritikan terhadap gagasannya. Jika Allah Swt. mengizinkan.

Suatu Tinjauan
Seperti yang dijanjikan, disini saya akan menyampaikan beberapa argumen dari al-Ghazali menyangkut keraguannya. Tatkala ia diliputi keraguan terhadap berbagai pengetahuannya, ia menuju indranya dan berkata:
Sekarang saya duduk disini, buku ada di depan saya, pena dan kertas ada di tangan saya, saya sedang melihat angkasa, saya tengah mendengar berbagai suara, sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak dapat ragu terhadap keraguan saya ini.[3]
Sebagaimana maklum, pernyataan di atas menegaskan tentang keyakinannya terhadap keraguan yang ia alami, meskipun ia dalam keadaan ragu terhadap segala bentuk pengetahuannya. Namun kali berikutnya, ia belum mendapatkan kepastian tentang sumber keyakianannya, sebagaimana yang terlihat pada argumen lain – yang akan saya tunjukkan – yang ia ajukan atas pengetahuannya. Pengakuan ini memiliki kemiripan seperti yang dialami oleh Descartes ketika memeriksa kembali seluruh pengetahuannya. Saat tersebut, (Descartes) mendapati kelemahan alat-alat pengetahuan sehingga tidak satu pun tersisa keyakinan tentangnnya, dan kemudian ia mengakui keberadaan ide-ide yang tidak didapati melalui indra melainkan sesuatu yang bersifat intuisi yang terjelaskan pada proposisi cogito, ergo sum. Agak berbeda dengan itu, al-Ghazali sampai pada alam mitzal yang kemudian dinisbahkan kepada seluruh pengetahuannya, seperti di bawah ini:
Wahai Ghazali! Sampai sekarang ini engkau masih tengah bermimpi. Misalnya dalam mimpi engkau duduk dan melihat buku, sedang berbicara dengan rekan-rekanmu, engkau mendengar pembicaraannya, dan di alam mimpi itu engkau melihat semuanya dengan mata kepalamu sendiri, memakan makanan yang lezat-lezat, dan semua itu tidak ubahnya seperti yang diungkapkan oleh Nasim Syumol mengenai keluhan si fakir[4] yang hidup sengsara.
Ungkapan tersebut merupakan kelanjutan dari yang terkemuka. Tentu, kesemua itu memiliki sebab, akan tetapi apakah sebab dari keraguan tersebut? Ini yang menjadi kegalauan orang-orang yang menyaikini kepastian pengetahuan. Kemudian, argumen lain yang ia ajukan berupa satu pengakuan untuk dirinya, sebagai jawaban terhadap keraguannya dengan harapan menemukan suatu keyakianan. Ia mengatakan:.
Wahai Ghazali! Tidakkah dalam alam mimpimu engkau telah melihat hal-hal yang semacam ini? Sebagaimana sekarang ini engkau tidak merasa ragu bahwa ini (keraguan) adalah benar, di alam mimpi pun engkau tidak merasa ragu terhadap apa yang engkau lihat saat itu. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang merasa ragu atas apa-apa yang ia lihat dalam mimpinya dan mengatakan, ‘apakah benar yang aku lihat ini atau salah?’ di alam mimpi manusia tidak akan merasa ragu, apa yang ia saksikan benar-benar saksikan. Namun saat ia terjaga, ternyata semua itu hanya hayalan dan tidak ada bentuknya (relitas luaran., penulis).[5]
Ketika Ghazali berbicara tentang realitas mimpi – seperti pada argumen di atas – ia menemukan dua keadaa yaitu mengetahui dua alam (alam mimpi dan alam yang bukan mimpi). Hal itu terlihat saat ia mempertanyakan tentang keyakinan seseorang terhadap mimpinya. Jika kita andaikan ia sedang bermimpi tentang alam mimpi - dengan kata lain mimpi dalam mimpi – lalu bagaimana bisa demikian jika tidak pernah mengalami suatu alam yang bukan alam mimpi tersebut? Apakah ia yakin tentang pernyataan mengenai pertanyaannya terhadap seorang yang mimpi namun tidak meragukan tentang mimpi tersebut? Dari manakah pengetahuannya dan di alam manakah ia mengetahui ketika seseorang sedang bermimpi, ia yakin tentang hal itu, sedang saat terjaga ternyata semua itu hanya mimpi?
Kemudian ia melanjutkan:
Mungkinkah seluruh kehidupanku ini bukan mimpi besar? Apakah tidak mungkin sekarang ini, saya, Gazali, yang di lahirkan oleh ibuku si fulan dan memiliki ayah si fulan, menuntut ilmu di sekolah, menikah, belajar selama bertahun-tahun, bertahun-tahun melatih diri, dan sekarang duduk disini, lalu secara tiba-tiba saya terbangun dan menyaksikan bahwa semuanya hanyalah mimpi? Dari mana saya tahu kalau ini bukan mimpi? Adakah bukti yang meperkuat bahwa kehidupan saya sekarang ini, di mana sekarang ini saya duduk sebagai filosof dan hendak menemukan suatu dasar pemikiran, adalah bukan merupakan lanjutan dari sebuah mempi panjang?[6]
Selain itu, Terdapat  penjelasan lain, seperti yang kami kutip dari salah satu artikel[7] bahwa, “keraguan yang di alami al-Ghazali adalah keraguan metodis, yakni sebuah metode yang dikembangkan untuk mendapatkan kepastian segala sesuatu yang tak terbantahkan.” “Dengan demikian, disimpulkan bahwa keraguan al-Ghazali bukanlah tentang kebenaran itu sendiri, maliankan tentang cara untuk mengetahui dan untuk menerima kebenaran.” Dari sini kemudian diselaraskan denga pernyataan lain – dari al-Ghazali – “Jika seorang mampu untuk ragu, maka itu pertanda akan mencapai kepastian.”[8] Dari penjelasan ini, kita melihat ada dukungan yang kuat terhadap keraguan atas sum,ber penilaian.
Selain itu, al-Ghazali dalam traktat al-Munqidz min al-Dhalal.[9] “…keraguanlah yang mengantarkan pada kebenaran. Barang siapa yang tidak pernah merasa ragu maka ia tidak memandang. Barang siapa yang tidak pernah memandang maka ia tidak pernah melihat. Dan barang siapa yang tidak pernah melihat maka ia akan tetap dalam keadaan kebutaan dan kesesatan….”[10]

Pembahasan
Ada baiknya sebelum menelusuri permasalahan ini, perlu diperhatikan beberapa hal yang menjadi acuan analisis saya. Pertama, apa yang dimaksud dengan pengetahuan; Kedua, apa alat dan sumber pengetahuan; ketiga, landasan apa yang digunakan dalam menilaian; keempat, samakah setiap pengetahuan yang kita miliki atau tidak?
Analisis
Sebelum anda membaca tulisan ini, anda tidak memiliki sesuatu tentang al-Ghazali dalam pandangan penulis, paling tidak cara penulis berbicara tentangnya. Namun sekarang, anda telah memiliki sesuatu dari tulisan ini, sebagai suatu yang baru pada benak anda. kondisi pertama (A) adalah majhul (ketiadaan gambaran mengenai hal ini bagi anda), yang artinya tidak mengetahui, sedangkan kondisi kedua (B) adalah sebuah perolehan; hadirnya gambaran pada benak anda (maklum), yang dengan kata lain anda mengetahui/paham. Dengan begitu, kondisi B merupakan keterhubungan antara objek (pengetahuan) dan subjek (yang mengetahui).  Lalu bagaimana hadirnya gambaran tersebut? Tidak didapat alat pada diri mansia kecuali, indra dan rasio, dan tak ada hal lain yang digunakan untuk menilai selain rasio manusia – terlepas dari kekeliruannya. Selanjutnya, kita sadar terhadap kehadiran sesuatu yang bersifat sederhana, dan juga kehadiran sesuatu yang kompleks atau jamak. Begitu juga dengan kesederhanaanya sebagai suatu kehadiran yang bukan gambaran dan sebagai gambaran. Agar memahami posisi Ghazali, kita akan melihat beberapa poin di atas dalam pernyataan yang di sebutkan.
Seperti apa yang diutarakan, al-Ghazali mengakui keraguannya sebagai suatu kepastian, sehingga ia menjadikan keraguan tersebut sebagai tolak ukur keyakinan pengetahuannya. Akan tetapi, ia kembali tersadar dan memunculkan pertanyaan, dengan apa semua keadaan saat itu dapat dipastikan benar-benar nyata? Dengan ungkapan lain, apa sumber penilaian tersebut yang mampu memberi keyakinan kepada kita? Tidak adanya kepastian sebagai landasan pengetahuan sehingga membuatnya melambung jauh dan mencapai pengandaian tentang alam mitzal. Sehingga, Ghazali berada pada persimpangan jalan, dan tak dapat menentukan arah mana yang benar (mimpi panjang atau kenyataan).  Walhasil, ia berada dalam keraguan sebab tak menemukan tempat berpijak untuk melangkah. Jika, misalnya akan melangkah, maka keraguanlah yang menjadi basis kepastiannya. Sebenarnya apa yang menjadi sebab awal keraguan tersebut?
Di sisi lain, la-Ghazali berbicara tentang keraguan dalam bentuk yang berbeda. Ia menjadikan keraguan sebagai batu pijakan untuk menemukan kepastian. Jika orang tidak pernah merasa ragu, maka tidak akan memperoleh kepastian, sebab ia tak pernah memandang. Walaupun demikian, saya akan mengemukakan keberatan terhadap keraguannya dan juga menganai keraguan sebagai dorongan untuk memandang dan menemukan kepastian.
Sanggahan I
Jika keraguannya berasal dari indra dan rasio yang disebabkan atas kekeliruannya, dan benar kita yakin terhadap kesalahan tersebut, maka disaat itu kita telah menemukan suatu kepastian tentang pengetahuan bahwa indra dan rasio telah melakukan kekeliruan yang merupakan penilaian rasional. Jika tidak demikian, maka keraguan tersebut adalah ketidakpastian yang berarti tidak dapat dijadikan sandaran untuk memutuskan sesuatu, sebab suatu sandaran yang tak pasti tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur kepastian. Seperti jika ia katakan, indra dan rasio melakukan kesalahan, sesuatu yang melakukan kesalahan tidak dapat dijadikan sandaran. kesimpulannya, indra dan rasio tidak dapat dijadikan sandaran, maka begitu pun sebaliknya. Begitulah kenyataannya bahwa tidak setiap penilaian adalah salah, sebab jika tidak demikian sudah pasti kita tidak dapat berkata-kata tentang sesuatu. Dari sini, bisa dipahami kesalahan tersebut muncul dari generalisasi yang keliru.  Pada akhirnya, dapat dikatakan pengetahuan terbagi atas pengetahuan yang salah dan benar.
Kekeliruan generalisasi dapat terjadi karena tidak adanya penyelidikan secara berhati-hati terhapdap pengetahuan, sehingga tidak mampu membedakan pengetahuan Tashdiq dan Tashawwur. Tidak adanya pemilahan ini mengakibatkan tercampurnya antara konsepsi dan penilaian, sehingga tidak mampu menentukan hubungan negasi antar predikat dan subjek dan hubungan afirmasi antara keduanya (subjek-objek).
Sanggahan II
Jika dikatakan kita tidak dapat menggunakan indra dan rasio untuk menghukumi keraguan al-Ghazali, sebab al-Ghazali tidak meletakkan keraguannya seperti Descartes tetapi ia mebawanya ke alam malakut (mitzal), maka cukup kita katakan bahwa apa yang diketahui di alam malakut tersebut sama seperti pada alam materi, yaitu menggunakan indra dan rasio seperti yang termuat dalam pernyataannya. Jika demikian, dari manakah hadirnya pengetahuan tersebut? Apakah alam malakut merupakan sumber pengetahuan kita seperti, buku, pena dan langit? Ataukah gagasan tentang hal tersebut di dapat dari alam materi sehingga persoalan yang mendasar adalah, adakah kesesuaian antar ide dan relitas? Dengan demikian, atas dasar apa kita menolak rasio dan indra sebagai alat pengetahuan? Maka tak lain, jalan satu-satunya kita harus membuat suatu rumusan yang tepat agar dapat menentukan peran indra dan rasio dalam konsepsi (tashawwur; ide) dan penilaian (tashdiq; afirmasi).
Selain itu, tentang ketidakpastian atau keraguan, bisa  jadi muncul karena tidak membedakan pegetahuan yang sederhana (kehadiran; khuduri) dan pengetahuan konsepsi (husuli) sehingga menganggap setiap pengetahuan adalah perolehan.
Sanggahan III
Terhadap pengetahuan (keraguan) yang dianggap sebagai basis dari keyakinan masih dapat diterima jika keraguan yang dimaksud hanyalah keraguan dalam kata, dan bukan dalam afirmasi (keputusan). Keraguan dalam bentuknya yang sesungguhnya adalah bentuk penegasan, terhadap suatu masalah dengan penjelasan terdapat hubungan negasi atas suatu hal. Namun hubungan negasi tersebut pada penetapannya (keptusan jiwa), ia adalah salah satu bentuk afirmasi. Olehnya itu, tidak didapat bentuk tindakan, kecuali keyakinan sebagai basisnya, bukan sebaliknya. Begitupun bisa dimaklumi jika keraguan digunakan sebagai tahap pencarian, dan bukan untuk meneguhkan suatu keyakinan, sebab keraguan adalah sautu hal yang tak pasti.[11]
Sanggahan IV
Tanggapan atas keraguan yang tak berujung pada suatu keyakinan (mimpi panjang al-Ghazali), yang dapat dianggap sebagai suatu hal yang mungkin tidak epistemik, cukup kita katakan sebagai bentuk pertanyaan yang relevan dengan beberapa penjelasan dari beberapa sumber tentang sebuah metode. Adalah pertanyaan ini, menyangkut penentuan suatu cara untuk mendapatkan sumber penilaian yang pasti. Akan tetapi jika demikian maka kita akan kembali pada rasio yang juga akan menghasilkan suastu keyakianan.
Saat meragukan apakah kedaan yang sedang ia alami adalah mimpi pamjang atau kenyataan sebenarnya, sebab tidak memperoleh sebuah alat untuk menilai pengetahuannya, bukankah saat itu ia telah menggunakan rasionya untuk meragu? Mengapa ia menajdikan rasio sebagai yang diragukan dan keraguan yang diberi menggunakan rasio? Benarkah jika kita mengingkari rasio dengan menggunakan rasio kita? Tentu tidak dibenarkan. Keraguan yang dianggap merupakan langkah awal untuk memandang tidak dapat dibenarkan, sebab sebelum memandang kitad akan memperoleh suatu pengetahuan. Adapun upaya verifikasi berdasarkan kepastian bahwa suatu konsep memiliki relitas, dan apakah ada kesesuaian atara konsep dan fakta?
Sanggahan V
Namun, disisi lain kita dapat menyelesaikan persoalan ini, dengan probabilitas. Dengan membuka berbagai kemingkinan, kita dapat memulainya dari kekosongan keyakinan (ketidak pastian) menuju kemungkinan yang relevan dengan persoalan, dan melihat hubungan antar proposisi (kemungkinan) tersebut. Apakah ia tabayun, tasawi, dakhilaintahta tadhad atau mutadhadatain. Dengan demikian, kita dapat mereduksi sebagaian kemungkinan tersebut dan menentukan satu sebab atau kepastian pengetahuan. Olehnya itu, tidak mungkin tetap berada dalam sebuah keraguan atau ketidakpastian seperti yang di alami al-Ghazali. Walhasil, kita akan memualainya dari pengetahuan yang bersifat sederhana dan pasti kebenarannya. Maka dari itu, tidak ada ruang untuk mempertanyakan tentang mimpi yang panjang dan tak berujung kecuali yang dimaksud kehidupan di dunia ini adalah mimpi yang panjang yang nantinya akan terbangun (kematian; bangkit).

Beberapa Point
Saya tidak menyebut ini sebagai kesimpulan, sebab tidak lazimnya suatu kesimpulan. Walupun demikian, ini merupakan kesimpulan mungil saya. Ketergelinciran di atas, dan beberapa filsuf lain adalah dikarenakan beberapa hal berikut:
·     Tidak memperhatikan posisi atau peran indra dalam konsespsi dan penilaian;
·     Kurang perhatian dalam menelaah esensi pengetahuan;
·     Tidak membedakan penilaian dan konsepsi;
·     Generalisasi yang tidak semestinya;
·     Tidak mengakui prinsip rasional/apriori;
·     Membuka kemungkinan namun tidak memperhatikan pengetahuan apriori, sebagai prinsip rasional;
·     Melupakan bahwa pengetahuan yang benar tidak memiliki keterputusan dengan prinsip yang niscaya; bagai sebuah bangunan yang harus memiliki dasar yang jelas.

Semoga bermanfaat, baik dalam kesalah, kekurangan dan kebenarannya. Jika terdapat kekeliruan, semoga segera dipahami dan mengetahui cara penyelesaiannya.



[1] Dapat merujuk ke Muthahhari, Pengantar Epistemologhi Islam, Shadra Press
* Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun, (http://syafieh74.blogspot.com/2013/04/al-ghazali-dan-kritiknya-terhadap.html).
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,
[4]  Suatu malam aku bermimpi mengenakan pakaian baru
Ku dengar alunan musik dan aku berada diranjang yang hangat dan lembtu
Sakuku penuh dengan uang yang tak terhitung
   Saat terjaga, aku melihat sebagaian anggota tubuhku tanpa pakaian
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Abu Hamid al-Ghazali. al-Munqidz min al-Dhalal. hlm. 67. Dikutip dari Mahmud Hamdi Zaqauq, al-Ghazali; Sang Sufi Sang Filosof, terj. Ahmad Rofi’i Utsmani (Bandung: Pustaka, 1987) h. 18
[11] Dapat merujuk ke Logika Induksi

1 komentar:

  1. Mohon maaf, terdapat gangguan pada tampilan halaman ini. jika anda menemukan kesalan yang membuat anda tidak melihat tulisan yang tertera, anda dapat melakukannya dgn cara memblog wilayah tersebut agar dapat membacanya.
    terimakasih....

    BalasHapus